Wakil Presiden Leni Robredo mengkritik Duterte karena "menjual" negara itu ke China dan membuang kedaulatannya, menyebut putusan arbitrase 2016 sebagai "kertas sampah".
"Kebijakan Duterte yang condong ke China hanya menghasilkan janji-janji palsu tentang pembangunan dan persahabatan dengan Beijing, sementara China masih berusaha untuk mengambil lebih banyak pulau dari Filipina," kata Paul Chambers, seorang peneliti di Pusat Penelitian Komunitas ASEAN di Universitas Naresuan di Thailand, kepada Bloomberg.
China awalnya setuju untuk memberikan 9 miliar dollar AS modal lunak ke Manila, tetapi pinjaman dan bantuan China ke Filipina berjumlah 590 juta dollar AS pada 2019.
China juga menjanjikan modal 15 miliar dollar AS investasi langsung, tetapi investasi yang disetujui antara 2016 dan 2020 hanya 3,2 miliar dollar AS, menurut statistik resmi Filipina.
ODA Jepang untuk Filipina jauh melebihi China, dengan 8,5 miliar dollar ASpada 2019.
Pemerintahan Duterte menegaskan kebijakannya terhadap China adalah benar.
Menteri Perdagangan Lamon Lopez mengatakan bulan lalu bahwa negara itu telah menuai banyak keuntungan ekonomi.
Mengatakan bahwa Beijing sekarang adalah mitra dagang terbesar Filipina dan China Telecommunications Group telah menjadi salah satu pemasok layanan seluler di negara Asia Tenggara ini.
Duterte menyebut hubungan dengan China sebagai "win-win".