Penulis
Intisari-Online.com - Pertama ditemukan di India, virus corona B.1.617.2 atau yang dikenal sebagai varian delta, juga menyebar di berbagai negara.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, pada Jumat lalu (18/6/2021), virus ini telah menginfeksi 148 orang di 6 provinsi di Indonesia, dengan Jawa Tengah yang tertinggi.
Seperti diketahui virus corona yang kemudian menjadi pandemi telah bermutasi berulang kali sejak muncul di China pada akhir 2019 lalu.
Kini, dunia tengah menghadapi varian delta yang disebut lebih cepat menular dibanding varian lainnya.
Selain itu, gejala infeksi virus corona varian delta juga memiliki perbedaan dengan gejala Covid-19 klasik.
Gejala varian delta mungkin bisa dianggap sebagai pilek musiman, pasalnya pilek menjadi salah satu gejala infeksi Covid-19 varian ini.
Berbeda dari awal pandemi Covid-19, di mana pilek justru tidak masuk dalam gejala virus corona.
Hal itu seperti yang diungkapkan studi Zoe Covid Symptom di Inggris, yang dilakukan Profesor Tim Spector.
Menurut studi tersebut, gejala tertular varian Delta terasa "lebih seperti pilek berat".
"Sehingga banyak yang mengira mereka hanya terkena pilek musiman, jadi masih pergi ke pesta dan mungkin menyebar ke 6 orang lainnya. Ini memicu banyak masalah," kata Spector.
Apa lagi gejala lain infeksi virus corona varian delta selain pilek?
Menurut studi tersebut, gejala pilek berat disertai dengan sakit kepala, sakit tenggorokan, dan hidung meler atau tersumbat.
Gejala varian Delta berbeda dengan gejala Covid-19 klasik yang berupa berupa batuk, demam dan kehilangan indra penciuman yang kini kurang umum terjadi, berdasarkan studi tersebut.
Data tersebut diterima dari ribuan orang yang telah mencatat gejala mereka di sebuah aplikasi.
"Sejak awal Mei, kami telah melihat gejala teratas di pengguna aplikasi, dan mereka tidak sama seperti sebelumnya," kata Profesor Spector.
Menurut mereka, kehilangan penciuman sudah tidak lagi muncul di 10 gejala teratas.
Menurut Spector, orang yang masih muda bisa jadi merasakan gejala yang lebih ringan,
Tetapi, ia menyarankan untuk tetap di rumah, karena mereka tetap bisa membahayakan orang lain.
"Mungkin hanya terasa seperti pilek atau perasaan 'tidak enak badan' biasa, tetaplah di rumah dan lakukan tes,"
Dijelaskan bahwa pilek cenderung berkembang lebih bertahap dan tidak terlalu parah, meskipun tetap membuat pasien merasa tidak sehat.
Bersama dengan batuk, mungkin ada bersin, sakit tenggorokan dan hidung meler, tetapi demam, menggigil, nyeri otot dan sakit kepala jarang terjadi.
Jika Anda merasakan pilek dan disertai batuk terus menerus, juga gejala lainnya, Anda harus dites virus corona, katanya.
Gejala lainnya adalah demam atau kedinginan, batuk, sesak napas atau kesulitan bernapas.
Juga kelelahan, nyeri otot atau tubuh, sakit kepala, hilangnya rasa atau bau, sakit tenggorokan, hidung tersumbat atau pilek, mual atau muntah dan diare.
Baca Juga: Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat Menurut Para Ahli
Varian Delta Plus, Muncul sebagai Mutasi Varian Delta
Setelah varian delta, kini muncul mutasi dari varian tersebut, yang disebut Delta Plus dan mulai mengkhawatirkan para pakar global.
India telah memperhatikan varian Delta Plus dengan ada kekhawatiran bahwa varian ini berpotensi lebih menular.
Menteri Kesehatan India mengatakan sejumlah penelitian menunjukkan varian yang disebut Delta plus atau dikenal sebagai AY.1, lebih mudah menyebar, lebih mudah menempel di sel paru-paru.
Serta berpotensi kebal terhadap terapi antibodi monoklonal juga infus antibotik intravena untuk menetralisir virus.
Setidaknya 16 sampel tersebut ditemukan di Maharasthra, satu dari negara bagian yang paling terdampak pandemi Covid-19, seperti yang dilansir dari BBC Indonesia pada Kamis (24/6/2021).
Varian Delta plus juga telah ditemukan di 9 negara lainnya, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Portugal, Swiss, Jepang, Polandia, Nepal, Rusia dan China.
Namun, ahli terkemuka virologi mempertanyakan pengkategorian Delta plus sebagai "varian yang mengkhawatirkan".
Mereka mengatakan belum ada data yang membuktikan bahwa varian tersebut lebih mudah menyebar atau lebih mematikan dibandingkan varian lainnya.
"Belum ada data yang mendukung klaim varian yang mengkhawatirkan ini," kata Dr Gagandeep Kang, virolog dan perempuan India pertama yang dipilih sebagai anggota Royal Society of London, kepada koresponden BBC India, Soutik Biswas.
"Anda memerlukan informasi biologis dan klinis untuk mempertimbangkan apakah ini benar-benar varian yang mengkhawatirkan."
Ini artinya, pemerintah India perlu lebih banyak data untuk menentukan apakah varian ini bisa dinetralisir oleh antibodi yang dihasilkan oleh vaksin yang saat ini tersedia dengan varian lain dari Covid-19.
Data yang lebih luas juga dibutuhkan mengenai peningkatan penularan, kegagalan diagnostik, tes rutin yang tidak menangkap adanya varian, dan apakah varian Delta plus ini menyebabkan penyakit yang lebih parah.
Varian Delta plus mengandung mutasi tambahan yang disebut K417N pada duri virus corona, yang ditemukan pada varian Beta dan Gamma, yang masing-masing pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan Brasil.
Bahkan dengan 166 contoh Delta plus yang dibagikan di GISAID, sebuah basis data terbuka global, menurut Dr Jeremy Kamil, virolog dari Pusat Ilmu Kesehatan, Louisiana State University di Shreveport, mengatakan:
"Kita tidak punya banyak alasan untuk percaya ini lebih berbahaya dibandingkan dengan varian Delta asli."
"Saya akan tetap tenang. Saya tidak berpikir pemerintah India atau pemerintah di negara lainnya telah merilis atau mengumpulkan data yang cukup untuk membedakan risiko dari apa yang disebut varian Delta plus, ini lebih berbahaya atau mengkhawatirkan dibandingkan dengan varian Delta yang asli," katanya.
Baca Juga: Sistem Pendaftaran Sekolah Online Berbasis Website di Provinsi Banten Belum Siap
(*)