Terpaksa Simpan Uang Rp 1,5 Miliar Dalam Tanah di Hutan, Suku Anak Dalam Ini Ditolak Bank untuk Menabung atau Pinjam Uang guna Penghijauan Hutan

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Potret lelaki Orang Rimba bernama Nyeruduk beristirahat di sudong atau rumah sementara mereka usai menyadap karet di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi
Potret lelaki Orang Rimba bernama Nyeruduk beristirahat di sudong atau rumah sementara mereka usai menyadap karet di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi

Intisari-Online.com -Seorang warga Suku Anak Dalam atau Orang Rimba bernama Haji Jaelani menceritakan kisahnya beradaptasi dengan kehidupan di luar hutan.

Ia mengaku pernah memiliki uang tunai Rp1,5 miliar yang terpaksa disimpan di dalam tanah.

Haji Jaelani memiliki kebun sawit berusia produktif dan dari kebun itu,

dia mengantongi uang belasan juta rupiah setiap bulan dan menyimpannya dalam tanah di pedalaman hutan.

Baca Juga: Misteri Hilangnya Putra Miliarder Terkaya Dunia Michael Rockefeller di Rimba Papua, Konon Nasibnya Berujung Tragis Dimakan Suku Kanibal

Satu dekade lalu, setiap mendapat uang dari menjual sawit dan karet, Jaelani menuju bukit tertinggi di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi.

Dengan teliti, dia memilih tanah yang jauh dari aliran air ketika hujan, lalu mengubur uang puluhan juta rupiah dalam kantong plastik berwarna hitam.

Pada bagian atas kuburan uang itu, pria yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 ini membangun sudong atau pondok sementara tempat orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) tinggal.

Bangunannya terbuat dari atap terpal dengan lantai dari susunan kayu untuk memberi perlindungan kepada uang yang disimpan.

Baca Juga: Inilah Rumah Adat Suku Korowai, Baru Ditemukan 30 Tahun yang Lalu dan Diami Rumah Pohon di Bumi Papua, Ini Alasan Mereka Masih Tinggal di Rumah Pohon

Dia menyimpan uang di dalam tanah selama 2,5 tahun.

Pertemuan Jaelani dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) membuat Jaelani mengenal bank.

Kala itu, Jaelani masih menyandang jabatan Tumenggung Air Hitam.

Namanya masih Tarib. Namun, setelah memeluk Islam, dia memakai nama Jaelani sampai sekarang.

Baca Juga: Peradaban Timor Leste Dimulai Ribuan Tahun yang Lalu, Inilah Suku-suku yang Mendiami Timor Lorosae

Setelah mengenal bank sebagai tempat menyimpan uang, lelaki yang berusia lebih dari 60 tahun ini membongkar "tabungan" dalam tanah.

Dia membawa uang dalam jumlah sangat banyak ke bank di Kota Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Saat dihitung, jumlah uangnya mencapai Rp 1,5 miliar.

Namun, kala itu pihak bank menolak menyimpan uang Jaelani karena persyaratan untuk menyimpan uang di bank belum lengkap.

Baca Juga: Orang Timor Leste Terdiri dari Beragam Suku Bangsa, Ternyata Salah Satunya Orang Campuran 'Mestiço Timor' seperti Mantan Presidennya Ini

“Saya tidak punya kartu tanda penduduk (KTP) dan alamat rumah saya hutan. Maka, saya disuruh orang bank membawa uang itu pulang,” kata Jaelani saat ditemui Kompas.com di rumahnya, di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pertengahan Mei.

Ekspresi kecewa terlihat pada air muka lelaki rimba peraih Kehati Award ini saat menceritakan peristiwa tersebut.

Dia menyayangkan pihak bank tidak memiliki belas kasih dan tega melihatnya harus menyimpan uang sebanyak itu di dalam tanah.

Tentu taruhannya nyawa, tidur di dalam hutan yang gelap dengan uang miliaran rupiah bersamanya.

Dengan rasa takut, dia membawa uangnya pulang dan kembali memasukkan uang miliaran rupiah itu ke dalam tanah.

Kali ini tidurnya menjadi tidak lelap.

Baca Juga: Suku Adat Papua Barat Menang, Izin Penebangan Hutan Seluas Negara Belgia Akhirnya Dicabut, Rencana Jadikan Papua Lahan Sawit Terancam Gagal

Sebab, kabar dirinya memiliki uang yang sangat banyak telah tersiar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi yang berada di kaki Bukit Duabelas.

Beberapa bulan setelah ditolak bank, ada orang yang menawarkan kebun sawit.

Tanpa berpikir panjang, dia langsung membelanjakan separuh uangnya untuk membeli kebun tersebut.

Pria yang juga ahli obat-obatan tradisional ini membangun rumah di kampung, membaur bersama orang-orang transmigrasi.

Sisa uangnya digunakan untuk berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji bersama istri.

Setelah menetap di kampung, kebutuhan Jaelani pun terus bertambah.

Berbeda ketika tinggal di hutan, yang bisa makan dari alam.

Sekarang kebutuhan hidup membengkak karena harus membayar listrik dan pulsa, mengisi perabot rumah, dan memenuhi kebutuhan dapur selayaknya masyarakat umum.

“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp 100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp 2 juta kita habis,” ucapnya dengan lirih.

Baca Juga: 1.000 Pemimpin Suku Papua Setujui Referendum 1969 yang Dianggap sebagai Kebohongan, Ada Peran Letjen Ali Moertopo?

Diskriminasi industri keuangan

Biaya hidup yang tinggi saat berada di permukiman membuat "tabungan tanah" Jaelani terkikis.

Ditambah harga karet dan sawit merosot tajam.

Maka, pada 2014, Jaelani yang telah memiliki KTP dan rumah di kampung, serta sertifikat kebun sawit dan karet belasan hektar, kembali mendatangi bank.

Dia bermaksud meminjam uang untuk keperluan penghijauan hutan yang kritis karena deforestasi.

Lelaki ini hendak menanam jernang dan tanaman obat yang nyaris punah.

“Sekali lagi saya ditolak bank karena tidak ada penjamin (orang yang dipandang kaya dan tinggal di kampung untuk menjamin Jaelani saat meminjam uang),” ujarnya.

Orang rimba tidak pernah main-main dengan orang atau lembaga yang mengerti baca tulis dan pemerintah.

Baca Juga: Orang Timor Leste Merupakan Keturunan dari 3 Gelombang Pendatang, Dari Mana Saja?

Artinya, mereka tidak pernah berkhianat dalam perjanjian karena takut dihukum.

“Kami tidak pernah membuat utang, kalau tidak sanggup membayar,” kata Jaelani lagi.

Suku Anak Dalam adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra.

Suku ini masih dikategorikan sebagai "masyarakat terasing" yang berdiam di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

(*)

Artikel Terkait