Intisari-online.com -Industri kelapa sawit adalah salah satu industri yang tumbuh pesat di Indonesia dan menjadi penyangga ekonomi utama bagi negeri ini.
Namun, industri ini kian hari semakin mengkhawatirkan karena terus-terusan memerlukan ekspansi lahan yang tidak sedikit dan menguras banyak tempat.
Akibatnya banyak hutan-hutan terpaksa digunduli untuk diganti menjadi perkebunan kelapa sawit.
Catatan dari LSM Sawit Watch, tahun 2017 ada ekspansi lahan yang terus meningkat untuk sawit dari sekitar 6,5 juta hektar di tahun 2006 dan menjadi 16,1 juta hektar tahun 2017.
Indonesia lantas menjadi negara dengan luasan perkebunan sawit dan penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Tahun 2016 saja, Indonesia sudah menghasilkan lebih dari 30 juta ton minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Seperlima dari total CPO tersebut atau 6 juta ton dipakai untuk kebutuhan dalam negeri, dan sisanya diekspor ke China, India, Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Devisa lantas meningkat dan pendapatan negara berangsur tunjukkan hasil yang memuaskan, tahun 2017 perkebunan kelapa sawit berkontribusi lebih dari USD 18 miliar, setara dengan hasil dari sektor migas dalam periode yang sama.
Pemerintah mengatur ekspansi besar-besaran ini dalam Peraturan Menteri No. 26/2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan yang diatur perluasan izin dari 20 ribu hektar sampai 100 ribu hektar per perusahaan dalam satu provinsi untuk minyak sawit perkebunan.
Peraturan lainnya adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2009 terkait pedoman penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit yang memungkinkan konversi lahan gambut sampai 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit.
DPR RI juga menginisiasi draft RUU Perkelapasawitan sejak 2016 lalu dengan statusnya sekarang masih terdaftar di DPR. RUU ini jika disahkan akan memberikan angin segar melalui berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal pada industri sawit guna terus memperluas investasi.
Sawit memang dianggap minyak nabati paling ekonomis baik dari segi produksi maupun pengolahan. Kelapa sawit juga menjadi produk utama untuk menghasilkan produk lain seperti kosmetik, pembersih muka dan bahan bakar nabati.
Namun tidak semua pihak setuju dengan industri kelapa sawit. Salah satu yang paling dirugikan adalah masyarakat suku asli Papua.
Bukan sebuah rahasia lagi jika di Wilayah Indonesia Timur kini sedang dilaksanakan ekspansi sawit. Tidak heran, hutan-hutan Papua masih begitu luas dibandingkan hutan di Kalimantan dan Sumatra yang sudah gundul oleh industri minyak nabati ini.
Namun hutan dan tanah Papua juga menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan bagi kurang lebih 1187 suku asli yang mendiami, dengan suku asli di Papua sebanyak 312 suku dan 875 suku lain di Papua Nugini.
Hutan alami Papua ternyata juga menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan atau deforestasi yang terjadi dari waktu ke waktu.
Tahun 2005-2009 data Pemerintah RI menyatakan luas hutan Papua adalah sebesar 42,22 juta hektar, tapi pada tahun 2011 menyusut lagi mencapai 30,07 juta hektar.
Rata-rata deforestasi di Papua menurut Sawit Watch sebesar 143.689 hektar per tahun, dan laju deforestasi di Provinsi Papua Barat rata-rata sebesar 293 ribu hektar atau 25%.
Hal ini terjadi karena ekspansi perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah Papua, data dari Pemerintah Provinsi Papua menyebut luas perkebunan kelapa sawit di Papua pada tahun 2017 mencapai 958.094,2 hektar, belum termasuk luasan lahan di Papua Barat. Semua itu dikuasai oleh 79 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di berbagai daerah: Merauke, Jayapura, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, Waropen, Yahukimo, Nabire, Mimika, dan Mappi.
Muncul dilema besar dalam hal ini, di satu sisi Papua membutuhkan rencana pembangunan dan investasi yang jitu guna mengangkat derajat hidup warga Papua guna hidup sejahtera. Perkebunan kelapa sawit dianggap bisa menjadi solusinya karena orang Papua bisa bekerja di perkebunan sawit baik sebagai buruh maupun petani plasma.
Namun warga Papua tidak akan membiarkan tanah-tanah mereka direnggut dijadikan sektor industri yang kemungkinan besar bahkan tidak akan melibatkan mereka.
Orang Asli Papua (OAP) masih bergantung pada alam dan hutan sebagai sumber kehidupan, hutan dan rawa menjadi sumber warga Papua mendapatkan sagu sebagai sumber karbohidrat utama.
Hutan juga menjadi tempat mereka berburu hewan buruan untuk sumber protein dan berbagai hasil hutan seperti rotan, kayu, nibung dan lainnya untuk kebutuhan sandang dan papan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini