Intisari-online.com - Para peneliti baru-baru ini temukan bukti menggemparkan adanya pandemi oleh virus corona yang muncul di Asia Timur.
Yang mengejutkan adalah jejaknya ditemukan 20.000 tahun lalu, dengan akibat begitu besar hingga meninggalkan jejak dalam DNA manusia saat ini.
Penelitian baru ini menunjukkan bahwa pandemi kuno disebabkan oleh virus corona yang telah berkecamuk di bumi selama bertahun-tahun.
Melansir 24h.com.vn, Sabtu (26/6/21), jika tidak segera divaksinasi kemungkinan akan memberikan dampak yang sama, menurut New York Times.
"Penemuan baru-baru ini benar-benar membuat kami khawatir," kata David Ebardm ahli biologi evolusioner di University of Arizona, AS.
"Apa yang terjadi hari ini, mungkin akan mempengaruhi generasi yang akan datang," katanya.
Hingga saat ini peneliti masih belum mengetahui strain virus corona, selama 20 tahun terakhir 2 strain virus corona tekah menyebar, di antaranya adalah MERS, SARS, dan Covid-19.
Karena evolusi, virus menjadi bentuk yang menginfeksi manusia, dengan tidak teramati.
Baca Juga: Catat Kasus Covid-19 Tertinggi dalam Beberapa Bulan, Pemerintah Israel Kembali Berlakukan Aturan Ini
para ilmuwan hanya bisa mengandalkan petunjuk tidak langsung untuk memperkirakan kapan tahap ini terjadi.
Dari empat virus corona yang dapat menginfeksi manusia namun hanya menimbulkan gejala ringan, strain HCoV-HKU1 diperkirakan berevolusi dari virus aslinya pada tahun 1950.
Virus corona tertua yang diketahui adalah HCoV-NL63, muncul 820 tahun yang lalu.
Sebelum tahap di atas, para peneliti hampir tidak tahu apa-apa tentang virus corona.
Hingga penelitian Dr Enard dan rekan-rekannya baru-baru ini diterbitkan.
Alih-alih berfokus pada genetika virus, para peneliti melihat efek virus corona pada DNA manusia.
Selama beberapa generasi, virus bertanggung jawab atas perubahan besar dalam genom manusia.
Mutasi pada DNA membantu melindungi dari virus, seperti mutasi yang membantu sistem kekebalan memecah protein virus.
Mutasi yang menguntungkan ini akan diteruskan ke keturunannya.
Ketika mutasi gen acak muncul yang memberikan resistensi terhadap virus, itu dapat dengan cepat menyebar pada generasi berikutnya.
Versi non-mutan secara bertahap akan menjadi minoritas.
Dalam beberapa tahun terakhir, Dr. Enard dan rekan-rekannya telah mencari variasi genetik seperti itu dalam genom manusia, untuk merekonstruksi sejarah evolusi melawan virus.
Dr Enard mengatakan virus korona purba juga meninggalkan jejak khasnya sendiri pada genom manusia.
Tim membandingkan DNA ribuan orang yang tinggal di 26 komunitas di seluruh dunia, melihat kombinasi gen yang diketahui spesifik untuk virus corona, tetapi tidak ditemukan pada virus lain.
Menganalisis sampel DNA populasi di Asia Timur, para ilmuwan menemukan 42 gen dominan.
Ini dianggap sebagai sinyal yang jelas bahwa komunitas Asia Timur pernah berevolusi untuk beradaptasi dengan strain virus corona purba.
Namun virus corona purba yang menyebabkan pandemi itu tampaknya berhenti di Asia Timur, tidak muncul di wilayah lain.
"Jika dibandingkan dengan orang yang tinggal di belahan dunia lain, kami tidak menemukan tanda-tanda serupa," kata Yassine Souilmi, pakar dari University of Adelaide dan rekan penulis studi tersebut.
Para ilmuwan kemudian berusaha memperkirakan berapa lama epidemi dimulai, dengan mengevaluasi mutasi yang tidak berbahaya pada 42 gen ini.
Tim menemukan bahwa semua 42 gen memiliki jumlah mutasi yang cukup mirip.
"Ini menunjukkan bahwa mereka tidak acak," kata Dr. Enard, yang mengatakan epidemi menyebabkan mutasi muncul.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa mutasi resistensi virus corona muncul pada gen manusia antara 20.000-25.000 tahun yang lalu.
Selama proses pembentukan yang berlangsung beberapa ratus tahun.
Temuan tersebut mengejutkan para peneliti, karena saat itu masyarakat di Asia Timur tidak hidup dalam komunitas besar, terutama hidup dalam kelompok kecil.
Di masa depan, para ilmuwan akan mempelajari lebih lanjut tentang 42 gen yang pernah mencegah virus korona purba, sehingga menemukan lebih banyak solusi untuk menangani virus SARS-CoV-2 yang saat ini menyebar.
Studi baru ini diterbitkan dalam jurnal Current Biology pada 24 Juni.