Pantas Saja Petinggi Partai Islam Ini Mau Bergabung dengan Calon Perdana Menteri Baru Israel, Rupanya Inilah Tujuan Aslinya

Khaerunisa

Penulis

Mansour Abbas, pemimpin partai Gerakan Islam, bergabung dengan pemerintah koalisi baru yang berisi dua pemimpin dua pemimpin Zionis Yahudi

Intisari-Online.com - Dilengserkannya Benjamin Netanyahu dari kursi Perdana Menteri yang sudah didudukinya 12 tahun berturut-turut sejak 2009 mencuri perhatian publik belakangan ini.

Netanyahu resmi dilengserkan setelah Parlemen Israel menyetujui pemerintah koalisi baru yang dipimpin oleh nasionalis sayap kanan Naftali Bennett pada Hari Minggu (13/6/2021) kemarin.

Namun, hal yang juga mengejutkan dari peristiwa itu adalah bergabungnya seorang pemimpin partai politik Gerakan Islam dalam pemerintahan koalisi baru.

Pada 2 Juni, Mansour Abbas, pemimpin partai Gerakan Islam, duduk di samping Naftali Bennett, utusan agama Zionisme ultra-nasionalis, untuk menandatangani dokumen yang membawanya masuk ke koalisi tersebut.

Baca Juga: Palestina Benar-benar Makin Terjepit, Usai Israel Kini Dipimpin Perdana Menteri Pemburu Tepi Barat, Menteri Pertahannya Malah Sudah Punya Daftar Target Serangan di Jalur Gaza

Ia juga duduk bersama Yair Lapir yang sekuler, sosok ini nantinya akan bergantian dengan Bennett menjabat sebagai Perdana Menteri Israel.

Penandatanganan dokumen tersebut akan membawa Mansour Abbas, seorang Muslim yang taat dan warga Palestina Israel ke dalam pemerintahan koalisi baru dengan dua pemimpin Zionis Yahudi.

Melansir times.com, Mansour Abbas menggambarkan hal itu sebagai sebuah momen bersejarah.

“Itu adalah momen bersejarah,” kata Abbas kepada TIME beberapa hari kemudian dari kantor partainya, Partai Arab Bersatu di Kafr Qana.

Baca Juga: Serangan Jantung Renggut Atlet Bertalenta Markis Kido, Ini Penyebab Serangan Jantung Terjadi Meski Rajin Olahraga, Harus Seimbang

"Beberapa orang di ruangan itu menangis," katanya.

Tentu bukan tanpa alasan Abbas mau bergabung dengan para pemimpin Zionis Yahudi Israel.

Keputusan yang mengejutkan itu terjadi pada pemilihan Israel bulan April.

Abbas bersedia menjadi bagian dari koalisi sayap kanan, sesuatu yang tidak pernah dipertimbangkan oleh partai pimpinan Arab.

Baca Juga: Kini Jadi Sarang Preman, Siapa Sangka Pelabuhan Tanjung Priok Mungkin akan Tetap Jadi 'Pembantu' Jika Fasilitas yang Jadi Simbol Keserakahan Inggris dan Kecurangan Israel Ini Tak Pernah Ada

Kesepakatan itu sempat tertunda oleh pertempuran Israel dan Hamas pada bulan Mei, namun kini benar-benar terealisasi.

Abbas berharap, pemerintah koalisi baru yang disetujui parlemen Israel pada 13 Juni, bukan hanya mengakhiri era Netanyahu, tetapi juga menjadi momen penting bagi hubungan Arab-Yahudi.

Menurutnya, mungkin saja untuk melakukan hal-hal berbeda dari yang selama ini telah dilakukan.

“Tindakan partisipasi kita dalam pemerintahan ini dan dalam proses politik ini, dan saya bisa saja salah, membawa ketenangan di kawasan ini, perasaan harapan, bahwa mungkin untuk hidup bersama,” katanya.

Baca Juga: Ketika Menlu Australia dan 'Tangan Kanan Soeharto' Bersulang Sampanye Merayakan Terbukanya Pintu Eskploitasi ke Tambang Minyak Timor Leste

"Bahwa adalah mungkin untuk melakukan hal-hal yang berbeda," ujarnya.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa generasi, warga Palestina Israel diperlakukan sebagai mitra politik yang sah di lapangan bermain yang telah lama menjadi medan eksklusif Zionis dan Yahudi Israel yang religius.

Bergabungnya Abbas dalam pemerintah koalisi baru menimbulkan pertanyaan, tentang apakah keputusan itu lebih baik dari sebaliknya.

Namun, jika aliansi Abbas dengan pemerintahan dapat membantu warga negara Arab, maka itu bisa berdampak

Baca Juga: Jadi Perhatian Khusus Jokowi, Tanjung Priok Ternyata Nyaris Habisi Karier Pentolan PKI DN Aidit, Hanya Kelihaiannya Sendirilah yang Menyelamatkannya

Meski banyak yang memperkirakan bahwa dia akan gagal.

Rekan-rekannya di sayap kanan diserang oleh pendukung mereka karena membawa 'pendukung teror' ke dalam koalisi.

Sementara di sisi lain, banyak warga Arab menuduh Abbas meninggalkan perjuangan Palestina.

“Dia mungkin berpikir dia dapat meningkatkan banyak orang dengan bergabung dengan pemerintah, tetapi bukan itu cara saya memandang sistem,” kata Diana Buttu, seorang warga Palestina Israel, yang adalah seorang analis dan pengacara di Haifa.

Baca Juga: Ketika Menlu Australia dan 'Tangan Kanan Soeharto' Bersulang Sampanye Merayakan Terbukanya Pintu Eskploitasi ke Tambang Minyak Timor Leste

“Saya tidak melihat bahwa kita akan menjadi penerima manfaat," katanya.

Orang Palestina di Israel lainnya skeptis dengan apa yang sebenarnya bisa dia berikan, terlebih mengingat siapa sosok yang menjadi Perdana Menteri Israel baru.

“Mansour Abbas tidak akan melakukan apa pun untuk siapa pun. Karena itu tidak akan masuk agenda,” kata Buttu.

“Itu Naftali Bennett yang menjadi perdana menteri. Dia bukan pecinta Arab. Dia ingin menunjukkan kredensial sayap kanannya," katanya.

Baca Juga: Selidiki Laboratorium Wuhan, Wartawan Ini Bocorkan Penemuan Mengejutkan, Bukan Asal Usul Covid-19, Tetapi Ada Eksperimen Menggemparkan Ini

Sementara Abbas mengatakan dia menolak jenis politik atrisi yang telah menyebabkan saat-saat seperti ini, saat yang penuh gejolak.

“Saya telah dipanggil setiap nama yang bisa dibayangkan. Pengkhianat, budak, penurut,” katanya.

“Sangat mudah untuk berdiri di depan yang lain dan mengadakan pertempuran yang panjang. Itu bukan saya.

"Saya tidak memiliki tujuan untuk mengalahkan Anda, misalnya, tetapi lebih untuk membawa posisi Anda lebih dekat ke posisi saya," ungkapnya.

Baca Juga: Yuk Makan Buah Peach Alias Buah Persik! Ini Manfaat yang Akan Diperoleh Tubuh Anda

Abbas sendiri lahir dan dibesarkan dalam keluarga Muslim tradisional dengan 10 saudara kandung di Maghar, Israel utara.

Ada sebuah pelajaran yang dia ambil sebagai murid Syekh Abdullah Nimr Darwish, seorang Arab Israel, di Universiras Ibrani di Yerusalem.

Itu bahwa jalan untuk memperbaiki nasib orang Palestina di Israel, dan mengejar perdamaian Israel-Palestina, adalah melalui partisipasi politik.

“Semua yang saya lakukan hari ini saya serap dari warisan Sheikh Abdullah Nimr Darwish,” kata Abbas di kantornya.

“Dia mulai di penjara dan berakhir dengan inisiatif perdamaian agama. Saya tidak harus melewati lintasan yang sama. Saya mengambil ajarannya dan saya melanjutkan dari mana dia berakhir.”

Baca Juga: Satu Tahun Silam Jadi Bulan-bulanan Warga Tanjung Priok, Menteri Penuh Kontroversi Ini Bisa Jadi Kini Jadi Orang dengan Senyum Paling Lebar Usai Jokowi Telepon Kapolri Gara-gara Preman di Pelabuhan

Partainya, Partai Arab Bersatu (juga dikenal dengan akronim Ibrani Ra'am), didirikan sebagai sayap politik gerakan Islam Darwish pada tahun 1996.

Abbas telah menjadi pemimpin Partai Arab Bersatu sejak awal 2019, tahun ketika dia pertama kali terpilih menjadi anggota Knesset.

“Kami memiliki dua topi: di satu sisi kami adalah orang Arab Palestina. Tapi kami juga warga Arab Israel,” katanya.

Secara historis, partai-partai Zionis Yahudi tidak membuat aliansi dengan partai-partai Arab, bahkan jika hal itu berarti mereka tidak akan dapat membentuk pemerintahan.

Baca Juga: Yuk Makan Buah Peach Alias Buah Persik! Ini Manfaat yang Akan Diperoleh Tubuh Anda

Pada April 2020, pemimpin oposisi saat itu Benny Gantz, yang menjalankan kampanye untuk menggulingkan Netanyahu, justru akhirnya bergabung dengannya dalam pemerintahan.

“Itu adalah momen yang menentukan,” kata Abbas.

Saat itulah ide muncul di benaknya untuk menjangkau bukan ke kiri liberal, tetapi ke sayap kanan yang kuat namun retak.

“Saya mengatakan bahwa saya bersedia untuk berkolaborasi dengan seluruh spektrum politik dan itulah cara saya membuka pilihan dan pintu lebar untuk politik Arab di Knesset,” katanya.

Baca Juga: Posisi Tubuh Perlu Diperhatikan Penderita Penyakit Refluks Gastroesofagus saat Mengalami Heartburn, Terutama saat Malam Hari

(*)

Artikel Terkait