Intisari-Online.com -Polisi benar-benar bergerak cepat usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneleponKapolri Jenderal Listyo Sigit tentang praktik pungli dan para preman di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sebanyak 49 orang, terdiri dari karyawan pelabuhan dan preman berhasil diringkus oleh kepolisian.
Jokowi sendiri menelepon Kapolri usai mendapatkan keluhan dari para sopir kontainer yang resah dengan aksi pungli.
"Kemarin kita ketahui ada kegiatan tatap muka Bapak Presiden dengan sopir truk kontainer di Pelabuhan. Ada keluhan dari sopir kontainer tentang adanya pungli dilakukan oleh karyawan dan preman hingga menghambat perekonomian," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Jumat (11/6/2021), seperti dikutip dari kompas.com.
Namun, siapa sangka, keberadaan Tanjung Priok sebagai sebuah pelabuhan besar, bahkan mungkin terbesar di Indonesia, tidak akan terjadi tanpa adanya sebuah fasilitas pelayaran dunia.
Sebuah fasilitas yang kelak mengubah jalur pelayaran dunia hingga beberapa abad kemudian.
Fasilitas yang juga menjadi penarik magnet perseteruan berbagai negara dengan jumlah korban jiwa tak terhitung yang ditimbulkannya.
Fasilitas apakah yang dimaksud? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Tanjung Priok mulai dibangun pada 1877 dan barus selesai pada 1883. Itu pun tidak langsung beroperasi.
Baru pada 1886, atau tiga tahun usai selesai dibangun, Tanjung Priok baru difungsikan sebagai sebuah pelabuhan.
Saat itu Tanjung Priok dibangun di area seluas 20 hektar di permukaan laut dengan panjang dermaga mencapai 1,2 kilometer.
Namun, siapa sangka, pelabuhan baru ini sangat cepat penuh hingga pada akhirnya pada 1910, Tanjung Priok II dibangun dan selesai tujuh tahun kemudian.
Kota pelabuhan ini pun kemudian berkembang pesat hingga munculnya Paket Kebijakan Ekspor 1982 di era Presiden Soeharto.
Sebuah kebijakan yang kelak memaksa Tanjung Priok untuk terus memperluas diri agar bisa menjadi tempat ekspor impor barang dagang internasional.
"Masalahnya, pelabuhan Tanjung Priok berkembang terus sejalan dengan laju perkembangan ekspor Indonesia semenjak Paket Kebijaksanaan Ekspor tahun 1982," kata Dirut Pelabuhan II, Drs A Sabirin, ketika itu.
"Akibatnya, pelabuhan selalu merasa kekurangan lahan untuk menampung kargo barang ekspor-impor yang diproses di sana."
Padahal, pada kenyataannya, Tanjung Priok awalnya hanya merupakanpelabuhan pembantu, bukan pelabuhan terbesar di Jakarta, apalagi Indonesia.
Dulu, Pasar Ikan yang justru menjadi jalur utama perdagangan di wilayah yang dulu dikenal sebagai Batavia tersebut.
Namun, seiring semakin bertambahnya volume perdagangan, Pasar Ikan mulai kewalahan menampung segala perdagangan yang berlangsung di kawasannya.
Saat itulah, seperti dilaporkan olehKompas pada 11 Maret 1994, pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai kota pelabuhan.
Apalagi, pada 1819, sebuah fasilitas jalur perdagangan yang memberi keleluasan perdagangan Asia Timur dan Eropa baru saja dibuka.
Sebuah "fasilitas" yang kelak menjadi rebutan banyak bangsa dan menimbulkan pertumpahan darah.
Saat itu, empat negara sekaligus terlibat dalam konflik untuk menguasai "fasilitas" tersebut.
Inggris, Prancis, Mesir, dan Israel sama-sama bertempur untuk memperbutkan sebuah fasilitas berupa kanal raksasa bernama Terusan Suez.