Jadi Perhatian Khusus Jokowi, Tanjung Priok Ternyata Nyaris Habisi Karier Pentolan PKI DN Aidit, Hanya Kelihaiannya Sendirilah yang Menyelamatkannya

Ade S

Editor

D.N. Aidit. WIKIMEDIA
D.N. Aidit. WIKIMEDIA

Intisari-Online.com -Tanjung Priok, khususnya wilayah pelabuhan menjadi sorotan usai Presiden Joko Widodo menelelpon langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit.

Panggilan tersebut dilakukan Jokowi usai dirinya mendapatkan keluhan dari para sopir kontainer tentang kehadiran para preman dan banyaknya aksi pungli di kawasan tersebut.

Polisi pun lalu bergerak cepat dengan menangkap para preman dan pelaku pungli di banyak lokasi dari jalan raya hingga pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok.

"Ini yang dilakukan oleh pelaku pungli (meminta) uangnya mulai dari Rp 2.000, Rp 5.000, sampai Rp 20.000. Jadi masuk per pos-pos," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Jumat (11/6/2021), seperti dikutip dari kompas.com.

Baca Juga: Sampai Bikin Jokowi Telepon Langsung Kapolri, Preman Tanjung Priok Ternyata Pernah 'Lahirkan' Atlet Karate yang Kemudian Jadi Aktor Laga Legendaris Indonesia

Ya, Tanjung Priok memang memiliki banyak cerita sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri.

Namun, ada satu peristiwa fenomenal yang justru jarang terdengar atau bahkan tercatat dalam buku sejarah Indonesia.

Peristiwa yang dimaksud adalah nyaris diseretnya seorang pentolan Partai Komunis Indonesia ke dalam penjara.

Jika bukan karena kelihaiannya hingga bisa lolos dari jeratan hukum saat itu, bisa jadi namanya tidak akan terdengar pada peristiwa G 30 S.

Baca Juga: Dibeli Secara Rahasia dari Israel, Jet Tempur A-4 Skyhawk Zaman Pak Harto Ini Justru Hanya Berakhir di Museum Saja, Padahal Sempat Buat BingungTeknisi TNI AU

Kisah Aidit di Tanjung Priok sendiri dikisahkan langsung oleh mantan pengacaranya di Majalah Intisari edisi Desember 1977.

Berikut ini kisah lengkapnya.

--

Tentu saja bukan sesudah 30 September 1965, tapi permulaan tahun 1950, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda.

DN Aidit ketika bertemu dengan Mao Zedong.
DN Aidit ketika bertemu dengan Mao Zedong.

Waktu itu, Ibu Moedigdio, mertua Aidit, datang pada saya untuk memberitahu bahwa menantunya dan Loekman ditahan di Tanjung Priok dan akan diadili keesokan harinya oleh Pengadilan Negeri Priok. Kejahatannya?

Menjadi penumpang tanpa karcis pada sebuah kapal K.P.M. yang sedang dalam pelayaran dari Tanjung Priok ke Hongkong.

Perbuatan ini memang dapat dihukum menurut pasal 472 bis K.U.H.P. dengan hukuman maksimal 3 bulan penjara.

Mengapa orang pertama dan kedua dari Partai Komunis Indonesia ini bisa menjadi penumpang gelap pada kapal K.P.M. yang sedang menuju ke Hongkong?

Baca Juga: Fakta-fakta Kasus Penyelundupan Mobil dan Motor Mewah, Diakui Sebagai Batu Bata Hingga Rugikan Negara Rp647,5 Miliar

Jawabannya ialah karena mereka berhasil menyelinap ke luar negeri ketika Belanda melaksanakan aksi militer kedua terhadap R.I.

Kemana mereka pergi? Sampai sekarang saya tidak tahu, entah ke Peking entah ke Moskow mungkin untuk "training" lebih lanjut.

Tapi pennulaan tahun 1950, ketika akan pulang ke Indonesia, mereka tersangkut di Singapura, tanpa uang dan tanpa paspor.

Mereka orang-orang cerdik. Mereka naik saja ke kapal K.P.M. yang singgah di Singapura dalam perjalanan antara Tanjung Priok — Hongkong.

Potret D.N. Aidit. Keluarga Aidit lekat dengan dunia pendidikan Islam. Selepas sekolah ia dan adik-adiknya belajar mengaji bersama seorang guru bernama Abdurrachim. Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan.
Potret D.N. Aidit. Keluarga Aidit lekat dengan dunia pendidikan Islam. Selepas sekolah ia dan adik-adiknya belajar mengaji bersama seorang guru bernama Abdurrachim. Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan.

Memang di Singapura semua orang boleh naik ke kapal yang berlabuh di sana. Keduanya bersembunyi dan baru keluar sesudah kapal berlayar lagi di laut lepas.

Mereka berbohong, menyatakan naik di Tanjung Priok untuk pergi ke Hongkong kemudian akan ke RRC dengan maksud menjenguk keluarga di sana.

Mereka berdua mengaku "she Tan", artinya nama keluarga mereka "Tan". Selain itu mereka juga mengakui bahwa mereka tidak bisa bahasa Cina.

Kapten kapal menyatakan bahwa menyesal ia tidak bisa mengabulkan permintaan kedua orang "she Tan" ini. Mereka harus dibawa kembali ke Tanjung Priok untuk diserahkan kepada polisi.

Baca Juga: Indonesia Merasa Beruntung Bisa Beli Jet Tempur A-4 Skyhawk Israel di Zaman Pak Harto, meski Ujung-Ujungnya Ternyata Malah Dibuat Bingung

Selama perjalanan ke Hongkong dan dari Hongkong ke Tanjung Priok, mereka diharuskan bekerja di kapal dengan diberi sekadar uang belanja.

Selama kapal berlabuh 5 hari di Hongkong, mereka boleh ikut berjalan-jalan di darat, tapi selalu dikawal oleh jurumudi atau petugas kapal yang lain. Jadi sebetulnya enak juga!

Setibanya di Tanjung Priok mereka diserahkan kepada polisi pelabuhan untuk ditahan dan disidangkan secara summier keesokan harinya.

Mereka berhasil memberi kabar kepada Ibu Moedigdio yang segera datang minta pertolongan kepada saya.

Keesokan harinya, Ibu Moedigdio dan saya datang ke Pengadilan Negeri Tanjung Priok. Saya beritahu panitera bahwa saya akan menjadi pembela Aidit dan Loekman.

Hakimnya adalah Asan Nasution (kini almarhum) yang kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta yang terkenal tegas sekali.

Kemudian saya bersahabat karib dengannya dan saya pernah bermalam 5 hari di rumahnya ketika Pak Nasution ini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang.

Tapi hari itu di Tanjung Priok saya baru pertama kali bertemu dengannya. "Mau apa Mr. Tan ini?" tanyanya. "Ini 'kan perkara summer dan kedua terdakwa sudah mengaku. Bagaimana akan dibela?"

Saya tertawa. "Saudara hakim," kata saya, "perkara ini kelihatannya tidak dapat dibela, tapi saya ingin menunjukkan bahwa kedua terdakwa terpaksa berbohong karena mereka bukan naik kapal di Tanjung Priok, melainkan di Singapura.

Baca Juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman

Mereka ingin pulang ke Indonesia, tapi tidak punya uang, tidak punya paspor. Maka itu mereka mengaku naik di Priok supaya dikembalikan ke Priok.

Saudara hakim, saya dalam keadaan yang sama akan melakukan hal yang sama pula. Malah saya berani berkata bahwa saudara hakim sendiri akan berbuat demikian.

Kalau saudara hakim mengakui bahwa saudara hakim akan berbuat begitu juga, maka saudara hakim sudah mengakui bahwa keadaan mereka sudah merupakan "rechtvaardigingsgrond" (alasan yang membenarkan) untuk perbuatan mereka dan mereka harus dibebaskan.

Selain itu saya juga ingin mengemukakan bahwa Aidit dan Loekman ini bukan penumpang gelap biasa, sebab mereka orang pertama dan orang kedua dari P.K.I."

Mendengar keterangan saya yang terakhir ini Pak Asan Nasution berkata: "Nanti dulu! Tepatkah persoalan ini dilihat dari sudut juridis saja? Apakah sebaiknya diajukan pula pertimbangan politis? Perkara ini saya undurkan dua minggu dan saya akan mintakan pandangan PAM (Polisi Aliran Masyarakat)".

Demikianlah perkara ini diserahkan kepada P.A.M. Aidit dan Loekman diambil sidik jarinya walaupun Ibu Moedigdio protes keras.

Pembelaan perkara ini diambil alih oleh saudara Luat Siregar S.H., yaitu anggota parlemen, Fraksi P.K.I, bekas pengacara di Medan.

Saya tentu saja tidak keberatan, sebab buat perkara ini sudah tentu saya tidak akan berani minta honorarium.

Akhirnya saya dengar bahwa hakim Asan Nasution menjatuhkan hukuman 2 minggu penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Saya anggap hukuman ini kurang patut. Maklumlah waktu itu hakim dan P.A.M. lebih anti P.K.I. dari saya yang ketika itu belum dimusuhi golongan komunis!

(Ditulis oleh Tan Po Goan S.H. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1977)

Baca Juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman

Artikel Terkait