Find Us On Social Media :

Sisi Lain Papua, Lakukan Tradisi ‘Sasi’ Demi Pelestarian Spesies Laut agar Berkembang Biak dan Bertahan Hidup, Seperti Apa Tradisi yang Dilakukan Penduduk Raja Ampat Ini?

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 9 Juni 2021 | 08:15 WIB

Raja Ampat.

Intisari-Online.com – Sisi lain Papua, lakukan tradisi ‘Sasi’ demi pelestarian spesies laut agar berkembang biak dan bertahan hidup, seperti apa tradisi yang dilakukan penduduk Raja Ampat ini?

Terlepas dari konflik kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, daerah ini memiliki potensi tinggi akan hasil lautnya.

Kampung Mutus adalah sebuah desa nelayan di kepulauan Raja Ampat, di bagian timur Indonesia.

Kampung Mutus terkenal dengan budidaya ikan.

Baca Juga: Tak Akan Diundur Atau Dipindah ke Provinsi Lain, PON 2021 Papua Justru Hendak Dimanfaatkan Pentolan Separatis yang Tak Diakui Ini Guna Mengemis Perhatian Dunia

Desa ini dimulai pada tahun 1989, oleh seorang pria keturunan Tionghoa bernama Ateng yang sedang mencari tongseng atau kerapu merah.

“Kakak saya yang bertemu dengan Ateng, dia membawanya ke Kampung Mutus. Ada banyak tongseng yang bisa ditemukan di sana. Akhirnya kampung itu menjadi kampung nelayan karena memelihara semua ikan yang ditangkap di keramba,” kenang Markus Dimara, Kepala Kampung Mutus.

“Saat ini, nelayan keluar pagi dengan dua puluh liter bensin dan pulang dengan hanya sepuluh ikan. Beberapa hanya menangkap dua. Stok ikan terus berkurang akibat penangkapan ikan yang tidak diatur di masa lalu, ”katanya.

Bagi perekonomian Raja Ampat, perikanan memainkan peran penting, bahkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Baca Juga: Gejolaknya Tak Kunjung Mereda Sejak Direbut dari Belanda, Kisah Pembebasan Papua Oleh Jenderal Soeharto Ini Ungkap Sejarah Papua Sebelum Bersatu Dengan Indonesia

Melansir dari Worldbank (7/6/2021), pada tahun 2019, sektor perikanan Indonesia menyumbang $27 miliar terhadap PDB nasional.

Sektor ini menciptakan tujuh juta lapangan kerja, dan menyediakan lebih dari 50% protein hewani yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Mangrove, merupakan komponen lain yang penting bagi sektor perikanan.

Ini melindungi wilayah pesisir negara dari tsunami dan banjir, setidaknya senilai US$39 juta per tahun.

Namun, sejumlah tantangan mengancam lautan Indonesia serta kehidupan dan penghidupan orang-orang yang sangat tergantung padanya.

Penangkapan ikan yang berlebihan telah membebani stok, sementara lautan sendiri mengalami degradasi sepertiga terumbu karang Indonesia dan meningkatnya keberadaan sampah plastik di laut.

Separuh dari kawasan yang mendukung mangrove penting berada dalam kondisi terdegradasi.

Terlepas dari kondisi tersebut, masih ada harapan bagi bumi dan masyarakat di laut timur Indonesia.

Awaludin Noer Ahmad atau akrab disapa Wawan Mangile, koordinator program wilayah Kepala Burung Yayasan Konservasi Nusantara di Papua mengatakan, saat pandemi pertama kali merebak, seluruh aktivitas ekonomi kota terhenti.

Baca Juga: Sampah Jadi Ancaman Kelangsungan Hidup Hewan Ini, Lima Penyu Belimbing Raksasa Bertelur di Yenbekaki Raja Ampat, Papua

Tapi ada banyak cara untuk bertahan hidup di Raja Ampat.

“Masyarakat sadar akan pandemi, tetapi mereka tidak khawatir tentang makanan. Itu karena kami percaya bahwa konservasi adalah caranya. Jika pariwisata mati total, kita akan sengsara. Tapi penduduk desa di Raja Ampat berkata, oh, kami masih punya ikan, sagu, dan kasbi. Hanya uang yang kami tidak punya,” katanya.

Menurut Wawan, konservasi telah lama tertanam dalam kearifan lokal di Raja Ampat, termasuk konsep 'sasi', sebuah sistem yang membatasi pengambilan beberapa sumber daya untuk memastikan keberlanjutan.

Ini sangat penting di lautan, di mana banyak spesies laut dirugikan jika terus-menerus ditangkap tanpa batas.

Tradisi ini memastikan bahwa spesies dapat berkembang biak dan bertahan hidup.

“Saat sasi, masyarakat hanya mengambil teripang dengan ukuran tertentu. Mereka tidak akan mengambil semuanya begitu saja. Kemudian lima atau enam tahun akan berlalu sampai sasi lagi,” kata Wawan.

“Kalau dibatasi, mereka bisa panen setiap tahun. Mereka juga tidak menangkap lobster yang memiliki telur. Dengan cara ini, kita bisa melestarikan kehidupan teripang dan lobster.”

Kebijaksanaan ini sebenarnya dapat dilakukan di wilayah lain di Indonesia, menurut laporan Oceans for Prosperity yang diluncurkan oleh Bank Dunia.

Mereka berpendapat bahwa pendekatan berbasis hak dari pemerintah yang memberikan hak pemanenan kepada masyarakat pesisir atau perusahaan di bawah syarat dan batasan tertentu dapat mendorong pengelolaan yang lebih baik dan meningkatkan produktivitas perikanan.

Baca Juga: Tak Hanya Untuk Berenang, Air di Kalibiru di Raja Ampat Juga Bisa Diminum oleh Wisawatan, Ini Alasannya

Bentang laut Raja Ampat dan kehidupan bawah laut yang menakjubkan menjadikan pariwisata sebagai kontributor utama bagi perekonomian lokal.

Tak bisa dipungkiri bahwa daerah ini sangat terpukul oleh awal pandemi Covid-19.

Krisis ekonomi yang sulit melanda para pemilik pusat penyelaman dan penginapan kecil.

Ketika turis memang berkunjung, mereka lebih suka tinggal di resor yang lebih mewah, jauh dari komunitas dan bisnisnya yang sedang berjuang.

Sepanjang pandemi ini, hanya sekitar 15 pengunjung yang datang.

“Orang-orang lebih suka tinggal di resor yang layak daripada bersama komunitas lokal, meskipun tidak selalu demikian,” kata Githa.

Pandemi menyebabkan penurunan drastis dalam kunjungan wisatawan, membuat Marsel dan Githa harus memikirkan kembali apa sebenarnya arti pariwisata berkelanjutan.

Namun, mereka menemukan sumber pendapatan lain, seperti berkebun dan merawat ikan.

 “Inilah yang perlu kita pahami tentang pariwisata berkelanjutan, bahkan ketika tidak ada turis,” kata Githa.

Baca Juga: Kepulauan Anambas, Kembaran Raja Ampat yang Disebut ‘Kepulauan Tropis Terindah di Asia’

Sayangnya, meski jumlah wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat turun drastis, namun polusi sampah plastik tetap ada.

Menurut Marsel, sampah terbanyak berasal dari Sorong, kota terbesar di Papua Barat, dan Waisai, kota di selatan Pulau Waigeo yang terletak di Kepulauan Raja Ampat.

Hal senada juga diutarakan Awaludin Noer Ahmad.

“Di Biak, ada peraturan daerah yang melarang kantong plastik, jadi semua orang kembali menggunakan noken,” mengacu pada tas anyaman tradisional yang terbuat dari serat kayu atau daun.

Mengurangi sampah plastik membutuhkan pendekatan yang lebih lengkap.

Misalnya, selain pembersihan di Raja Ampat, juga diperlukan inisiatif untuk mengatasi masalah pengelolaan sampah di Sorong dan berinvestasi dalam fasilitas pengelolaan sampah.

Lebih banyak inisiatif dilakukan seperti pembersihan pantai, insentif untuk inovasi, dan daur ulang, juga strategi untuk mengurangi penggunaan plastik.

Kegiatan restorasi dan perbaikan infrastruktur juga dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan ketahanan pesisir.

Baca Juga: Pulau Baer, Kepingan Surga di Timur Indonesia, Tak Kalah dari Raja Ampat

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari