Intisari-Online.com -P. Friwen sebenarnya hanya tempat singgah bagi kami. Begitu tiba dari Jakarta pada pk 7.20 WIT di Bandara Edurad Dominic Sooc di Sorong, perjalanan 5 jam itu langsung dilanjutkan naik kendaraan MPV kecil ke Dermaga Sorong yang hanya sekitar 5 menit jauhnya.
(Sebelum Sarapan, Baiknya Mengonsumsi Minuman Ini Supaya Racun dalam Tubuh Kita Hilang)
Menurut Mato guide kami, kami akan naik feri ke Dermaga Wasai lalu dari sana naik speedboat ke Raja Ampat Diving Lodge di Kep. Raja Ampat.
Di perjalanan menuju resort, kami singgah di pulau kecil berpasir putih bernama P. Friwen. Kata Mato, "Di sana bisa main-main pasir sebentar."
Tantangan pertama untuk turun adalah naik ke tepi speedboat sambil berpegangan pada railing lalu menjebloskan tubuh lewat tali railing dan meluncurkan diri ke perairan dangkal dan tidak jatuh!
(Menghitung Biaya Wisata Backpacker ke Raja Ampat?)
Begitu melangkahkan kaki di sana, dan merasakan kaki kami terbenam dalam pasir putih yang lembut dan basah, mata saya terpesona pada bening airnya, yang dari kejauhan tampak hijau di tepian lalu berubah nuansa lebih gelap agak ke tengah.
Pulau-pulau di kejauhan seperti backdrop bagi "pentas" ini. Sebuah perahu kecil dibiarkan terdampar di tepiannya: sungguh cantik. Dan serentak jumpa dengan Novenda, saya pun menemukan peran utama pentas P. Friwen.
Novenda baru tiga tahun. Bola matanya cokelat, rambutnya keriting pirang. Kulitnya cokelat gelap. Dia hanya mengenakan celana pendek.
Ayunan yang tergantung rendah pada batang pohon yang miring parah itu pasti dibuat untuk Novenda dan kakak-kakaknya, walaupun tertulis: Rp10.000 untuk yg main ayunan di secarik kaertas karton.
Arena bermain Novenda bersama kakak-kakak dan teman-teman kakaknya adalah pantai. Keluar-masuk perairan, berendam, bermain air, biasa. Tak ada istilah "masuk angin" tampaknya bagi mereka.
Sesekali tampak klomang beringsut di atas pasir. Sesekali pecah tangis manja Novenda karena digoda kakak-kakaknya.
Dia atau kakak laki-lakinya, Jeki, bisa membantu ibunya mengambilkan air untuk basuh turis2 seperti kami yg menggunakan toilet. Tapi dia tentu belum bisa mengupas kelapa dengan golok seperti mama atau papanya.
Margareta, kakaknya, bisa membantu Papa mengambilkan kelapa untuk minum para turis. Margareta sudah kelas 3. Sekarang sekolahnya sudah libur Natal. Ia juga ikut sekolah minggu, kata mamanya. Tapi ia senyum malu-malu tak bisa menjawab waktu ditanya berapa umurnya.
Bagi Margareta, Jeki, Intan dan Novenda, bermain di dalam keindahan alam Raja Ampat adalah keseharian semata. Keindahannya nyaris menyamarkan keterbatasan sarana di pulau itu. Warung kopi kecil milik orangtuanya bertiang bambu dan beratap rumbia. Tirainya dari untaian kerang.
Salah seorang turis membandingkan dengan suasana di Kep. Bahama, AS, yang pernah dikunjunginya, berkata, "Di sana juga ada hiasan dan bangunan seperti ini, tapi lebih indah di sini."
Barangkali karena di P. Friwen hiasan dan bangunan sederhana itu memang ekspresi seadanya dari yang mereka miliki. Pemberian alam Raja Ampat. Kelapa, kerang, klomang, ikan yg berwarna-warni, dan air laut yang bening. Sebuah surga yang jujur yang sayangnya masih menanti saatnya makmur.
Penulis: Lily Wibisono, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Intisari