Penulis
Intisari-online.com -Tiga tahun yang lalu, ketika Shiv Joshi belajar menjadi dokter di Institut Ilmu Medis Mahatma Gandhi di pusat India, ia harus memilih ilmu spesialis yang akan ia ambil.
Ia telah membaca mengenai Kematian Hitam dan flu Spanyol.
Lantas ia ingin belajar bagaimana melacak penyakit melalui triase, tes dan pelacakan kontak.
Akhirnya ia memutuskan mengambil spesialis pengobatan komunitas.
Tahun itu adalah 2018, seabad setelah pandemi flu 1918 yang ia baca, dan dua tahun sebelum virus Corona bisa menyebabkan pandemi hebat di India.
"Pengobatan komunitas adalah tentang mencegah penyakit itu muncul dan juga bereaksi terhadapnya.
"Salah satu penugasan pertamaku adalah menginvestigasi epidemi demam berdarah, di mana seluruh desa terpapar olehnya," kenang Joshi yang baru berusia 27 tahun.
"Namun aku tidak pernah menyangka akan berada di tengah-tengah pandemi global sebenarnya."
Ketika dia melakukannya, ia dan sesama dokter junior yang setara dengan residen medis di sistem kesehatan AS, ditugaskan semua ke bangsal Covid-19.
Alih-alih mengikuti spesialis lebih senior, mereka sering menemukan diri mereka berlari ke ruang IGD dan klinik bahkan membuat keputusan hidup-atau-mati di tangan mereka sendiri.
"Tiba-tiba, banyak tugas tambahan dan tanggung jawab yang dipindahkan ke kami," kenangnya.
"Aku kehilangan dua teman yang juga merupakan dokter, dan aku sering melihat orang-orang sekarat.
"Pastinya ini telah sangat membuatku stress."
Melansir npr.org, saat India melawan wabah Covid-19 paling besar dan paling mematikan di dunia, dokter juniornya, bahkan mahasiswa kedokteran, telah ditugaskan di garis terdepan selama lebih dari setahun.
Mereka melakukan tugas yang sama dengan dokter lebih senior, sementara para dokter senior tersebut mengawasi ICU yang kewalahan dan melawan birokrasi untuk mencoba memperbaiki rantai pengiriman oksigen.
Dengan ujian medis dibatalkan, banyak dokter junior ditekan berkutat dengan pengobatan kritis dan darurat, terlepas dari apa yang mereka pelajari.
Bekerja dalam shif 24 jam, mereka sering menjadi dokter yang mengirimkan berita buruk ke keluarga yang berduka.
Mereka juga kerap kali menjadi yang disalahkan oleh para keluarga karena kekurangan oksigen dan obat-obatan.
Banyak yang melihat lebih banyak kematian, menderita dan berduka di tahun lalu daripada yang mereka harapkan dalam seluruh karir mereka.
Rumah sakit India jarang menyediakan konseling kepada para stafnya.
Baca Juga: Duh! Ingkari Sumpah Profesi, Dokter Ini Akui Jual Vaksin Covid-19 ke Warga Sebesar Rp250 Ribu
Akibatnya, pakar memperingatkan dokter-dokter junior ini mungkin menderita dari gangguan stress pasca trauma tahun-tahun mendatang.
"Apa yang terjadi sekarang adalah terbentuknya generasi dokter yang trauma," ujar Devika Khanna, dokter yang menjalankan kelompok dukungan online dari rumahnya di London.
"Artinya Anda mengurangi kapasitas dokter profesional di masa depan."
'Aku merasa sangat tidak membantu'
Setelah lulus, Joshi ditugaskan di klinik demam di kota yang sama dengan sekolah medisnya, Sevagram, desa berisi 8000 orang.
Desa itu adalah desa yang miskin dengan tingkat buta huruf yang tinggi dan perawatan medis sangat minim.
Tempat itu juga menjadi rumah salah satu ashram Mahatma Gandhi.
"Ketika kasus Covid-19 pertama datang di RS ini, aku merasa sadar masalah ini akan menjadi besar," ujar Joshi.
Ia mengingat pertama kalinya ia ditinggalkan menjaga klinik. Ambulans berdatangan dan keluarga pasien berbondong-bondong datang, berteriak.
Pasien adalah wanita yang tampak sangat tidak sehat.
"Aku tidak bisa menemukan detak jantungnya, tapi ia sudah dingin, ia dalam keadaan syok. Aku harus menghubungi atasanku. Aku tidak yakin pasien ini punya banyak waktu," ujar Joshi.
Lakukan sesuatu, ujar kerabat pasien meminta pertolongan dan memandanginya.
"Namun kami tidak punya ranjang," ujarnya. "Tidak ada satu ranjang pun yang kosong. Maksudku, ada waktu ketika aku merasa sangat tidak membantu."
Ia memanggil supervisornya, tapi supervisornya tidak dapat datang.
Para atasan terlalu sibuk dengan pasien lain.
"Anda kadang merasa sangat tersesat. Anda tidak dapat hanya mengatakan jika pasien tidak akan selamat, kepada kerabat mereka, karena Anda tidak bisa mengambil harapan mereka," ujarnya.
"Apapun ilmu yang kami pelajari, buku yang kami baca, mereka tidak menyiapkan kami untuk situasi seperti itu."
Pasien Joshi meninggal setengah jam kemudian.
Joshi mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengirimkan berita kepada keluarga pasien yang marah.
Dan itu pun menjadi kali pertama dari lusinan waktu dihabiskan Joshi menyampaikan kabar duka.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini