Find Us On Social Media :

'Ayah Saya Dibayar Perusahaan yang Menjual Senjata untuk Lawan Cucunya Sendiri di Tanah Papua', Kisah Seorang Wanita yang Ayahnya Bekerja di Perusahaan Senjata Terkaya di Dunia

By Khaerunisa, Kamis, 6 Mei 2021 | 19:20 WIB

Lober Wanggai dan Izzy Brown melakukan protes di luar kantor konsulat Indonesia.

Intisari-Online.com - Pernikahan antara satu warga negara dengan warga negara asing mungkin tampak merupakan hal biasa.

Namun, kisah berbeda dialami oleh wanita bernama Izzy Brown asal Australia ini.

Ia harus menghadapi fakta memilukan saat ternyata ada jalinan ironis antara ayah yang bekerja di perusahaan senjata terkaya di dunia dan suaminya yang berasal dari Papua Barat.

Membagikan kisahnya melalui kanal berita The Guardian (5/5/2021), Izzy mengungkapkan bahwa ayahnya bekerja untuk Thales, salah satu perusahaan senjata terkaya di dunia.

Baca Juga: Sampai Bikin Mertua SBY Rela Sodorkan 'Leher' Dua Orang Kepercayaannya, Inilah Lodewijk Mandatjan, Pemimpin KKB yang Perjuangannya Paling Tulus Hingga Sudi Lakukan Ini

Thales adalah perusahaan mustinasional Prancis yang beroperasi di lebih dari 50 negara di dunia, termasuk Australia.

Izzy menceritakan, sebelum memimpin keamanan untuk Thales, ayahnya bekerja untuk Asio, Organisasi Intelijen Keamanan Australia.

Selama ayahnya bekerja di perusahaan senjata tersebut, Thales tak pernah mendapatkan jawaban pasti tentang apa yang dikerjakan ayahnya.

Sampai pada suatu hari, Izzy mengetahui bahwa perusahaan itu menjual kendaraan bersenjata termasuk kepada pasukan khusus Indonesia, Kopassus.

Baca Juga: Kisah Komunitas Yahudi di Tanah Papua, Terpaksa Gunakan Kitab Suci Agama Lain yang Disobek dan Bermimpi untuk Bisa Tinggal di Tanah yang Dijanjikan

Hal yang ia ketahui adalah bahwa Kopassus yang sama adalah yang dituduh meneror, menyiksa, dan membunuh rakyat Papua Barat.

Sementara suaminya merupakan seorang pengungsi Papua Barat. Bahkan, anak-anak mereka tinggal di sana.

"Separuh dari keluarga anak-anak kami tinggal di Papua Barat, ketakutan dengan tentara Indonesia, siap lari ketika pasukan Kopassus masuk ke desa mereka,"

"Tiba-tiba saya menyadari dengan menyakitkan bahwa ayah saya dibayar oleh perusahaan yang menjual senjata yang mungkin digunakan untuk melawan keluarga cucu-cucunya sendiri," ungkapnya.

Baca Juga: 'Jika Saya Tak Mencuri Rumah Anda, Orang Lain akan Mencurinya', Kala Pria Yahudi Israel Seenak Jidat Ingin Ambil Alih Rumah Warga Palestina, Logatnya Ungkap Asal-usulnya

Sebelumnya, Izzy menyadari bahwa mungkin perjalanan hidup sang ayah dan suaminya punya jalinan pada suatu titik.

Namun, ia mengaku tak pernah membayangkan bahwa jalinannya akan semengerikan ini.

"Saya selalu curiga bahwa perjalanan ayah saya dan perjalanan pasangan saya mungkin berhubungan, tetapi saya tidak pernah membayangkan betapa mengerikannya cerita mereka," katanya.

Suami Izzy, Lober Wanggai, mendarat di Cape York, Australia pada tanggal 17 Januari 2006 di sebuah kano cadik bersama 42 pengungsi lainnya dari Papua Barat.

Baca Juga: Bukan karena Murka Diberi Label Teroris, Ternyata Ini Alasan KKB Ancam Orang Jawa di Tanah Papua, Tragedi di Bumi Borneo Pemicunya

Sesampainya di Australia, mereka semuanya ditahan di Pulau Christmas sebelum diberikan suaka.

"Indonesia tersinggung dengan penerimaan Australia terhadap mereka dan menargetkan keluarga mereka," tulis Izzy."Ibu Lober ditangkap sebagai pembalasan. Teman dan anggota keluarga orang Papua di pengasingan ini telah ditangkap, disiksa dan dibunuh," katanya.

Izzy menggambarkan bagaimana kondisi para pengungsi Papua Barat yang berada dalam beban trauma.

Baca Juga: Melesat di Langit Timor Leste, Pilot Indonesia Ini Ternyata Nyaris Baku Tembak dengan Pesawat Tempur Australia, Begini Kisahnya

"Seperti kebanyakan pengungsi dari zona perang, 43 orang Papua Barat membawa beban trauma yang mencakup rasa bersalah yang selamat: mengapa saya aman ketika orang lain sekarat?," ungkap Izzy.

Menurut Izzy, dukungan militer Australia dan ekspor pertahanan ke Indonesia secara langsung berkontribusi pada penderitaan masyarakat di Papua Barat, dan menyebabkan penderitaan besar bagi orang Papua Barat.

"Setiap orang Papua Barat-Australia yang saya temui terluka oleh 'konflik intensitas rendah' yang berkecamuk atas akses ke sumber daya alam Papua sejak 1962," ujarnya.

Sementara itu, perusahaan senjata Thales punya tingkat ekspor dan jangkauan global yang tinggi.

Baca Juga: Bukan karena Murka Diberi Label Teroris, Ternyata Ini Alasan KKB Ancam Orang Jawa di Tanah Papua, Tragedi di Bumi Borneo Pemicunya

Thales beroperasi di 56 negara, dengan pendapatan pertahanan sebesar US $ 9,25 miliar pada 2019 .

Barang ekspor besar Thales Australia adalah kendaraan bersenjata Bushmaster, termasuk senjata dan persenjataan.

Pada 2013, Thales menjual tiga kendaraan Bushmaster ke Kopassus dalam kesepakatan senilai A $ 2,7 juta yang ditengahi oleh kantor penjualan militer Australia.

Pada Oktober 2016, pejabat industri pertahanan Australia dan Indonesia menandatangani perjanjian untuk memproduksi Sanca, kendaraan bersenjata yang didasarkan pada Bushmaster.

Baca Juga: Walau Para Pakar Sudah Mendesak Pemerintah Orba Agar Kurangi Penduduk Jawa di Papua, Soeharto Ngeyel Tetap Tambah Kiriman Pendatang ke Bumi Cendrawasih, Begini Kisah Suram Papua di Masa Itu

Izzy sendiri aktif dalam membela perjuangan rakyat Papua Barat. Dia mengungkapkan, selama di Papua Barat pada 2013, dia bertemu dengan puluhan aktivis, mahasiswa, dan tahanan politik.

"Seruan mereka untuk perdamaian, keadilan dan kebebasan dari pemerintahan Indonesia dengan suara bulat," katanya.

Dia mengungkapkan keprihatinannya terhadap apa yang tengah dihadapi rakyat papua, terutama para wanita di sana.

Izzy ikut merasakan penderitaan para wanita papua karena anak-anaknya sendiri berdarah Papua.

Baca Juga: Digadang-gandang Hanya Jadi Konflik antara Umat Yahudi dan Islam, Padahal Umat Kristen Palestina Juga Jadi Korban Serangan Israel, Ini Buktinya

"Sekarang tiga anak saya sendiri memiliki warisan Papua Barat, dan kakek mereka bekerja di perusahaan yang menjual senjata ke tentara yang menyebabkan begitu banyak kesedihan ibu," katanya.

"Jika benar bahwa perubahan dimulai di rumah, saya berharap ayah saya akan siap,"

Ia membayangkan bahwa bagaimanapun suatu hari anak-anaknya akan memahami betapa berpengaruhnya perusahaan tempat kakeknya bekerja dalam kekerasan di tanah ayah mereka.

"Akankah dia siap, saya bertanya-tanya, untuk hari yang mereka pahami dan pertanyaan yang akan mereka ajukan?," katanya.

Baca Juga: Cara Menghitung Neptu Weton untuk Melihat Sifat dan Karakter Anda Berdasarkan Primbon Jawa

(*)