Penulis
Intisari-Online.com - Negara paling banyak dibom dalam sejarah dan punya militer paling miskin di dunia, merupakan dua di antara beberapa fakta memprihatinkan Laos.
Negara ini juga satu-satunya negara Asia Tenggara yang terkurung daratan, berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, membuatnya rentan terseret konflik seperti yang terjadi di masa lalu.
Melansir britanica.com, secara keseluruhan, Laos terbentang sekitar 650 mil (1.050 km) dari barat laut ke tenggara. Laos di utara dibatasi oleh Cina, di timur laut dan timur oleh Vietnam, di selatan oleh Kamboja, di barat oleh Thailand, dan di barat laut oleh Myanmar (Burma).
Di Laos, sisa-sisa bom yang belum meledak pun membuat penduduknya sering kali berada dalam bahaya.
Diperkirakan 30 persen dari bom yang dijatuhkan di Laos gagal meledak karena benturan, dan pada tahun-tahun sejak pemboman berakhir, 20.000 orang telah tewas atau cacat oleh sekitar 80 juta bom yang tertinggal.
Sementara itu, terhitung sejak 1964, lebih dari 50.000 Laos tewas atau terluka oleh bom AS, dan 98 persen di antaranya warga sipil.
Bukan hanya membahayakan penduduknya, bom-bom itu juga turut andil mempengaruhi investasi di Laos yang berpengaruh pada perekonomian negara tersebut.
Kondisi memprihatinkan yang kini harus dihadapi Laos itu punya jalinan sejarah dengan perang saudara yang pernah terjadi di sana.
Itu terjadi ketika Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memuncak dan Laos menjadi salah satu medan 'perang rahasia' mereka.
Seperti diketahui, Perang Dingin merupakan persaingan ideologi antara Dunia Barat yang dipimpin AS dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis yang dipimpin Soviet dan sekutu negara-negara satelitnya.
Saat itu di Laos muncul gerakan nasionalis pro-komunis yang bernama Pathet Lao, dan bertempur melawan Pemerintahan Kerajaan Laos.
Pertempuran yang pada akhirnya dimenangkan oleh Pathet Lao itu melibatkan intervensi Vietnam Utara, Vietnam Selatan, juga AS.
Melansir history.com (5/12/2019), Pembom Amerika menjatuhkan lebih dari dua juta ton bom cluster di atas Laos, lebih dari semua bom yang dijatuhkan selama Perang Dunia II digabungkan.
Pengeboman AS di Laos (1964-1973) disebut merupakan bagian dari upaya rahasia CIA untuk merebut kekuasaan dari komunis Pathet Lao.
Dalam upaya AS menghentikan komunis Pathet Lao, negara adidaya itu merekrut orang-orang Laos yang ternyata juga ikut menjatuhkan bom.
Setelah kemenangan komunis Pathet Lao, di antara rekrutan itu bahkan takut untuk tinggal di tanah kelahirannya sendiri, seperti kisah yang dialami mantan prajurit bernama Tou Long Yang ini.
Melansir nbcnews.com (1/5/2020), Tou Long Yang berkata tidak punya pilihan ketika diperintahkan untuk menghancurkan tanah airnya.
Saat remaja, dia telah direkrut untuk melawan komunisme bersama Amerika Serikat.
Tugasnya adalah melindungi CIA dengan segala cara. Jadi, selama sembilan tahun kampanye pengeboman yang dilakukan AS terhadap Laos dari tahun 1964 hingga 1973, Yang mengungkapkan bahwa dia bertanggung jawab untuk memanggil beberapa dari 2 juta ton artileri yang menghujani negaranya.
"Saat itu, selama perang, mereka membunuh saya atau saya membunuh mereka," katanya kepada NBC Asian America melalui putranya, Toufu Yang.
Tou Long Yang bertugas bersama Vang Pao, seorang jenderal di Royal Lao Army pada saat itu yang memimpin "tentara rahasia" CIA selama Perang Saudara Laos selama hampir seluruh durasi konflik.
Dia ingat menerima gaji bulanan yang setara dengan $ 60. Itu jumlah yang lumayan saat itu, katanya, dan dia akhirnya memiliki dua rumah dan tiga mobil.
Tetapi ketika pasukan komunis menang di Vietnam terdekat pada tahun 1975, Yang harus melarikan diri.
Dia mengatakan dia takut tinggal di Laos setelah berjuang bersama Amerika Serikat. Jika dia tidak pergi, dia akan dikirim ke kamp kerja paksa di mana dia akan bekerja sampai mati.
Yang dan keluarganya awalnya melarikan diri ke kamp pengungsi di Thailand, kemudian ke Prancis, sebelum akhirnya pindah ke Rhode Island pada tahun 1991.
Mereka termasuk di antara lebih dari 1 juta pengungsi Asia Tenggara yang bermukim kembali di AS setelah berakhirnya konflik Asia Tenggara yang melibatkan AS.
Namun, seperti banyak pengungsi Asia Tenggara, sulit bagi Yang untuk menciptakan kehidupan baru di Amerika.
Kesulitan untuk menyesuaikan diri sebagai pengungsi di Amerika banyak dialami orang-orang lainnya yang senasib dengan Yang, kata para ahli.
(*)