Penulis
Intisari-Online.com - Sejak kemerdekaan baru sebentar diraih, Indonesia telah dihadapkan pada berbagai pemberontakan.
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII, merupakan salah satu yang paling terkenal.
DI/TII juga cukup lama menjadi ancaman disintegrasi bangsa karena setidaknya berlangsung dari tahun 1949 hingga 1962.
Selain itu, kelompok pemberontak tersebut juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Latar belakang pemberontakan DI/TII juga beragam di masing-masing daerah.
Berawal dari kelompok pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat yang merasa tidak puas dengan kemerdekaan Republik Indonesia dan ingin membentuk Negara Islam di Indonesia.
Sementara di Sulawesi Selatan, DI/TII dipimpin oleh tokoh bernama Kahar Muzakkar, yang kecewa karena banyak anggota Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang tidak diterima menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Memulai pemberontakannya pada tahun 1952, Kahar Muzakkar kemudian tewas ditembak mati tentara Indonesia pada tahun 1965 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Awalnya, Kahar Muzakkar meminta agar seluruh personel KGSS menjadi bagian dari APRIS. Namun, hal itu ditolak dengan alasan pemerintah hanya menerima anggota APRIS yang memenuhi persyaratan saja.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN).
Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan membuat kekacauan.
Kahar Muzakkar melakukan pemberontakan sebanyak dua tahap.
Tahap pertama (1950-1952), kelompok ini masih menggunakan pancasila sebagai ideologi gerakannya. Pada saat itu, dilakukan pula penggalangan massa untuk melakukan pemberontakan tahap berikutnya
Memasuki pemberontakan tahap kedua (1953-1965) ideologi mereka berubah dan telah memutuskan untuk bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo.
Mereka mengumumkan jika Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia.
Operasi militer pun dilancarkan ke Sulawesi Selatan sebagai tindak lanjut aksi pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar.
Pemberontakan pimpinan Kahar Muzakkar divonis sebagai tindakan makar hingga harus ditumpas habis.
Perintah penumpasan kelompok itu datang langsung dari Presiden, yang diiringi perintah menangkap pemimpinnya, Kahar Muzakkar, hidup atau mati.
Namun, diperlukan waktu yang cukup lama bagi operasi militer tersebut membekuk Kahar Muzakkar dan dan menghentikan pemberontakan di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan berakhir dengan ditembak matinya Sang Pemimpin pada Februari 1965.
Melansir Tribun Timur, Pasukan yang berhasil menghentikan Kahar Muzakkar itu berasal dari Peleton 1 Kompi D Batalyon 330/Kujang Siliwangi, yang dikomandani Peltu Umar Sumarna.
Peleton tersebut adalah bagian dari operasi kilat dengan misi khusus menumpas gerakan DII/TII pimpinan Kahar Muzakkar, di mana jumlah pasukan tak lebih dari 30 orang.
Beberapa hari sebelumnya, mereka memperoleh informasi valid tentang persembunyian Kahar Muzakkar.
Pada 3 februari 1965, tanpa sempat diketahuinya, Kahar Muzakkar telah dikepung oleh sepeleton pasukan di tengah hutan seberang Sungai Lasolo di wilayah Sulawesi Tenggara.
Hari itu pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan terjepit. Seluruh pasukan yang dipimpin Peltu Umar yang bergerak sebelum subuh telah bersiaga pada posisi masing-masing.
Dari sebuah gubuk di arah utara, terdengar sayup alunan lagu.
Itu dapat dipastikan berasal dari radio milik Kahar Muzakkar karena sebelumnya telah didapat informasi bahwa di perkubuan itu hanya dia yang memiliki radio transistor.
Hingga menjelang terang, beberapa orang nampak keluar dari gubuk-gubuk perkubuan.
Tembakan dilepaskan dari arah pasukan pengepung membuat seseorang sekonyong-konyong keluar dari gubuk di sebelah utara, di tangannya tergenggam sebuah granat.
Pergerakan itu dilihat oleh Wakil Komandan Regu, Kopral Dua Ili Sadeli, yang tanpa mau membuang waktu dan mengambil resiko langsung melepaskan tembakan.
Tembakan sang kopral tepat mengenai dada orang itu membuatnya seketika tersungkur jatuh meregang nyawa.
Situasi mencekam itu tak berlangsung lama. Tak ada perlawanan berarti terhadap pasukan Siliwangi.
Berikutnya tinggallah gelimpangan mayat yang tersisa.
Kemudian hasil identifikasi memastikan Kahar Muzakkar berada di antar orang-orang itu.
Dialah sosok pembawa granat tangan yang tertembak oleh Kopral Dua Ili Sadeli.
Tanggal 3 Februari 1965, hari di mana kelompok pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan diberantas dan pemimpinnya tewas, bertepatan dengan ari Raya Idul Fitri tahun itu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini