Penulis
Intisari-online.com - Kudeta militer Myanmarmenjadi salah satu agenda yang diperhatikan dunia dengan was-was.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirimkan berbagai macam perwakilan dan bantuan untuk menjembatani proses perdamaian antara rakyat dengan militer Myanmar, Tatmadaw.
Tidak hanya itu, PBB bersama dengan dunia berharap kekacauan ini berhenti dan Myanmar bisa kembali ke demokrasi lagi.
Mengutip Arab News, utusan spesial PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, pada Rabu kemarin memperingatkan ancaman terbaru untuk para minoritas Muslim Rohingya di negara tersebut.
Tatmadaw, pasukan bersenjata Myanmar, yang merebut kekuasaan dengan kudeta bulan lalu, kini berniat mereview rekomendasi Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine 2018.
Komisi Penasihat dulunya dikepalai oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, dengan rekomendasi tersebut bertujuan mengakhiri krisis Rohingya.
Dunia tidak akan lupa pada 25 Agustus 2017, Tatmadaw melaksanakan "operasi pembersihan" yang selain menyebabkan korban-korban sipil dan militer berguguran, juga menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya digusur dari tanah tempat kelahiran mereka.
Mereka dipaksa pergi dari Rakhine untuk kemudian menembus perbatasan menuju Bangladesh.
Serangan tersebut tidak bisa mendapatkan sanksi dari PBB karena Tatmadaw bergerak setelah ada serangan kecil melawan polisi dan militer oleh pasukan bersenjata bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Selain mereview rekomendasi komisi Annan, pemimpin kudeta juga mereview kinerja penyelidikan Komisi Independen.
Penyelidikan tersebut dilakukan sesuai permintaan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi untuk menginvestigasi serangan tahun 2017 dan konsekuensinya, termasuk tuduhan pelanggaran HAM dan kejahatan perang, dengan maksud untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang bersalah dan menemukan jalan menuju perdamaian.
Schraner Burgener mengatakan jika Tatmadaw mengikuti niat awal untuk mengevaluasi ulang kinerja dua komisi, "maka aku benar-benar takut jika mereka akan kembali ke titik awal dengan perlakuan terhadap Rohingya."
Dalam laporannya, komisi Annan menyajikan sebanyak 88 rekomendasi untuk pemerintah, termasuk pemberian akses kemanusiaan dan media penuh ke zona konflik, dan penyelidikan yang tidak memihak atas pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh Tatmadaw.
Rekomendasi itu mendesak pemerintah menutup semua kamp pengungsi internal di negara bagian Rakhine sesuai dengan standar internasional, memerangi ujaran kebencian terhadap anggota minoritas Muslim, dan mengambil langkah untuk memberi mereka suara di negara tersebut dan memungkinkan kebebasan bergerak.
Rekomendasi juga menyerukan proses verifikasi kewarganegaraan Myanmar dipercepat dengan merombak undang-undang kewarganegaraan 1982, yang ketentuannya bertanggung jawab atas ribuan orang Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Ada pula sejumlah rekomendasi terkait pembangunan ekonomi, infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hukum dan pembangunan budaya.
Schraner Burgener mengatakan bahwa Soe Win, wakil panglima tertinggi Tatmadaw, awalnya meyakinkannya bahwa upaya berdasarkan laporan komisi untuk mengatasi krisis pengungsi Rohingya akan "benar-benar berlanjut".
Namun, dia mengatakan bahwa dia kemudian terkejut mengetahui bahwa Dewan Administratif yang dibentuk setelah kudeta berencana untuk melakukan penyelidikan atas pekerjaan Annan dengan alasan bahwa itu dilakukan "untuk kepentingan pribadi seseorang tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional.. ” Orang yang dimaksud adalah Aung San Suu Kyi, kata utusan itu.
Suara rakyat Myanmar
Ketakutan Schraner Burgener, setidaknya, tidak tercermin dalam aksi para demonstran muda Myanmar.
Melansir Nikkei Asia, kelompok etnis Myanmar juga bergabung dengan protes melawan kudeta militer, menuntut turunnya junta dan dikembalikannya pemerintah ke pemerintah terpilih.
Pada 18 Februari, etnis minoritas berkumpul di pusat Yangon untuk memprotes melawan pemberontakan.
Sejak saat itu, etnis minoritas selalu ikut dalam aksi demonstrasi untuk tunjukkan solidaritas dengan pengunjuk rasa dari etnis mayoritas Burma.
Para pengunjuk rasa Burma tersebut juga sudah mulai meminta kesamaan hak untuk para suku minoritas, termasuk Rohingya.
Mereka tidak lagi ikut suara buta menolak para umat Muslim Rohingya, yang telah ditolak keberadaannya di Myanmar selama 50 tahun bahkan selama 5 tahun pemerintah Suu Kyi menjabat.
Banyak pengunjuk rasa muda menggunakan media sosial untuk mengatakan mereka menyesali tindakan mereka kepada para Rohingya terutama krisis 2017.
Atmosfer kini berubah, beberapa pengunjuk rasa di jalan memegang plakat bertuliskan, "Aku benar-benar menyesali krisis Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini