Penulis
Intisari-online.com -Masa kependudukan Belanda di Indonesia terhitung kependudukan yang cukup lama.
Buku sejarah menceritakan jika penjajahan itu meliputi 350 tahun mereka menguasai Hindia Belanda.
Buku-buku sejarah juga menceritakan jika semasa penjajahan pemerintah Belanda selalu terlihat kejam terhadap para pribumi.
Namun ada banyak sejarah yang sebenarnya tidak tercatat dan tidak diteruskan kepada masyarakat modern.
Salah satunya adalah mengenai kisah pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan.
Jalan yang kini menjadi jalur Pantura (Pantai Utara), salah satu jalur utama mobilisasi di Pulau Jawa ini memiliki beberapa nama.
Karena dibangun oleh pemerintah Belanda yang saat itu menjadi boneka pemerintah Perancis, nama jalan itu disebutkan dalam dua bahasa, Perancis dan Belanda: La Grande Route dan De Groote Postweg.
Disebutkan awalnya jika pembangunan jalan ini dilakukan dengan cara kerja paksa atau kerja rodi, dengan para pekerja pribumi tidak diberi upah oleh Daendels.
Namun apakah pembangunan jalan raya itu benar dari Anyer-Panarukan dan para kuli tidak dibayar?
Rupanya hal yang terjadi tidak demikian.
Dilansir dari situs resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dalam tema Batavia Digital, kisah mengenai Daendels dan proyek jalan rayanya tidak sepenuhnya sekeji itu.
Herman Willem Daendels
Daendels lahir di Hattem, 21 Oktober 1762, politikus Belanda yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, memerintah antara 1808-1811.
Belanda saat itu dikuasai oleh Perancis di bawah Napoleon Bonaparte, Daendels termasuk kumpulan pemberontak Belanda yang melarikan diri ke Perancis, dan ia menyaksikan sendiri Revolusi Perancis, kemudian menggabungkan diri dalam pasukan Batavia.
Namun baru di tahun 1806-lah Daendels dipanggil oleh Raja Louis Napoleon atau Raja Lodewijk Napoleon di Belanda untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mempertahankan pulau Jawa melawan Inggris.
Raja Louis Napoleon adalah adik dari Napoleon Bonaparte yang ia perintahkan menjadi penguasa Belanda.
Pulau Jawa saat itu menjadi titik penting perlawanan Perancis-Inggris yang menggelora, karena Inggris saat itu sudah menguasai lautan di Hindia Belanda, dan pasukan Perancis kesulitan memindahkan pasukan lewat jalur laut.
Raja Louis mengetahuinya dan ia kemudian memerintahkan Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos tersebut, seperti cara Napoleon Bonaparte menguasai seluruh Perancis dengan membangun jalan raya Roman, dan juga jalan yang dibangunnya antara India dan Afrika karena Inggris menguasai lautan.
Akhirnya Daendels meneruskan perintah Raja untuk membangun jalan tersebut dengan ambisinya hanya setahun saja, karena tekanan dari Inggris yang makin kuat.
Tidak hanya itu, ia mengisi tentara Belanda dengan orang-orang pribumi, rumah sakit baru segera ia bangun beserta tangsi-tangsi militer baru, lalu ia membangun pabrik senjata di Surabaya, dan pabrik meriam di Semarang serta sekolah militer di Batavia.
Jalan Raya Pos dibangun guna memindahkan para tentara dari Batavia untuk bisa segera menyebar ke seluruh pulau Jawa, tapi ada juga kegunaan lebih mendesak dari jalan itu yaitu untuk mendistribusikan hasil panen agar segera terjual dan mengisi kas negara yang kosong.
Jalan itu juga tidak dibangun dari Anyer sampai Panarukan, yang ada sebenarnya adalah jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba, dan ia hanya memperlebar jalan itu.
Barulah setelah Buitenzorg jalan dibangun menuju Cisarua dan seterusnya sampai Sumedang.
Pembangunan resmi dimulai bulan Mei 1808, sementara di Sumedang proyek terbentur kondisi alam yang sulit karena batuan cadas, proyek pun sempat terhenti.
Saat mengetahui hal ini, Daendels meminta komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya dengan tembakan artileri yang berhasil meratakan bukit dan pembangunan berjalan sampai Karangsambung.
Sejak Karangsambung ini, proyek dilakukan dengan sistem kerja upah.
Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap harinya dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.
Namun sayangnya, catatan pembayaran dari bupati ke para pekerja tidak pernah ada baik di arsip sejarah Indonesia, Belanda maupun Perancis.
Baca Juga: Herman Willem Daendels si Tangan Besi yang Penuh Kontroversi tapi Tetap Saja Diabadikan Namanya
Kemudian setibanya di Karangsambung Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disiapkan Daendels untuk membayar tenaga kerja habis dan di luar dugaannya tidak ada lagi dana untuk proyek pembangunan jalan.
Daendels lalu berkunjung ke Semarang pada Juli 1808 dan mengundang semua bupati di pantai utara Jawa, lalu ia menyampaikan jika proyek Jalan Raya Pos harus diteruskan.
Ia kemudian memerintahkan para bupati agar menyediakan tenaga kerja untuk membangun jalan, dengan kebutuhan pangan bagi mereka diberikan oleh bupati itu sendiri.
Kesepakatan tercipta dan pembangunan dilanjutkan dari Karangsambung menuju Cirebon, dan jalan telah dibangun sampai di Pekalongan.
Setelah itu, pembangunan hanya melibatkan pelebaran jalan karena jalan penghubung Pekalongan sampai Surabaya sudah ada, dibangun oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard yang digunakan untuk memindahkan pasukan Madura menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon.
Barulah dari Surabaya sampai Panarukan memang dibuka oleh Daendels sendiri.
Ini artinya, pembangunan Jalan Raya Pos tidak sejauh yang diceritakan buku sejarah, dan seharusnya pekerjaan itu bukanlah kerja paksa melainkan kerja wajib dengan upah yang jelas diberikan oleh Daendels.
Hanya saja, ketiadaan pembayaran dari bupati kepada para pekerja menjadi penyebab kerja wajib berubah menjadi kerja paksa.
Bupati adalah bawahan Gubernur yang menguasai kabupaten, mereka adalah pribumi, dengan di atasnya yaitu Gubernur yang merupakan warga Belanda.
Penunjukan bupati tidak perlu berkonsultasi kepada raja, sehingga memang pada masa Daendels raja pribumi tidak lagi mendapat kekuasaan, tidak seperti kala VOC di mana pembayaran upeti bisa dilakukan dari bupati menuju raja, yang menjadi praktik korupsi kala itu.
Raja kemudian beranggapan Daendels tidak memihak para raja pribumi atas penghapusan praktik pemberian upeti dan pungutan liar, dan ia tidak mendapat simpati dari mereka.
Itulah sebabnya mengapa Daendels mendapat julukan Mas Galak, karena ia sangat tegas memberantas korupsi yang sudah mengakar di antara para pribumi yang tumbuh hebat kala VOC.
Baca Juga: Bukan Apple, Google, Apalagi Facebook, Perusahaan Paling Bernilai Sepanjang Sejarah Itu Bernama VOC!
Meskipun demikian narasi yang sudah sering diceritakan adalah Daendels begitu keji memaksa para pribumi bekerja tanpa upah, padahal kenyataannya ketiadaan upah itu disebabkan oleh para bupati pribumi itu sendiri.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini