Herman Willem Daendels si Tangan Besi yang Penuh Kontroversi tapi Tetap Saja Diabadikan Namanya

Moh Habib Asyhad

Penulis

Tugasnya antara lain "membereskan" Ambon, Ternate, Banda, Makassar, Timor, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan tentu Jawa. Setiba di Jawa, Daendels langsung membubarkan pemerintahan Dewan Hindia.

Intisari-Online.com – Nun 200-an tahun lalu, mendaratlah kapal perang layar besar di Anyer, ujungnya Jawa Barat, setelah mengarungi laut luas sekitar 10-an bulan dari Belanda.

Tanggal 9 Januari 1808, salah satu penumpang kapal itu, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels - di kemudian hari dijuluki "si tangan besi" - dinobatkan sebagai penguasa Hindia Timur Belanda.

Ia berstatus utusan khusus Louis Napoleon Bonaparte dari Prancis, yang menjadi "Raja Belanda" di Republik Bataaf atau Belanda.

(Baca juga:Candi-Candi Padanglawas, Bukti Penjajahan Majapahit di Tapanuli)

Daendels dipercaya memberesi negeri kolonial yang selama hampir 200-an tahun dikelola penuh keburukan dan kerakusan oleh Verenigde Oostlndische Compagnie atau VOC (1602 – 1795).

Daendels juga diharapkan sukses menjegal bisnis ekspor armada dagang Inggris, yang kian gencar mengirim hasil bumi dan pangan dari "pulau emas hijau" (baca: Jawa) ke Eropa.

Sangat diandalkan selama perang Revolusi Prancis, Daendels terkenal sebagai kepala batalion asing yang piawai dalam peperangan antara tahun 1772 - 1779, dan pada 1779 ditunjuk untuk mempertahankan Republik Bataaf yang baru saja jadi bagian dari Prancis.

Daendels yang mendapat penghargaan bintang jasa Rajawali Agung (grand aigle de la legion d'honneur) berangkat menuju Jawa pada 27 Juli 1807 bersama satu divisi tentara, beranggotakan 14.000 personel.

Tugasnya antara lain "membereskan" Ambon, Ternate, Banda, Makassar, Timor, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan tentu saja Jawa. Setiba di Jawa, Daendels langsung membubarkan pemerintahan Dewan Hindia.

la juga prihatin melihat Batavia, dengan kota "lamanya" yang sudah usang yang tidak sehat, sehingga berjuluk het graf des hollanders (kuburan orang Belanda).

Benteng tuanya pun dianggap tak mampu lagi membendung serangan Inggris, sehingga dirobohkan.

Sementara beberapa bangunan baru sebagai pusat administratif cepat ditata dan dibangun, di kawasan Weltevreden (kini sekitaran Lapangan Banteng).

Termasuk gedung dan bangunan tangsi tentara yang masih tegak sampai kini.

Istimewanya, mereka juga membangun rumah sang Gubernur Jenderal, kini Gedung Departemen Keuangan, di Lapangan Banteng.

Namun Daendels tak sempat tidur-tiduran di rumah super mewah itu sebab keburu diminta balik ke Belanda untuk tugas baru.

Di bangunan hebat tanpa perencanaan dana, bermaterial konstruksi dari benteng dua abad lalu buatan Jan Pieterszoon Coen, itu masih terbaca jelas tulisan di dekat tangga besarnya: "MDCCCIX - Condict DAENDELS - MDCCCXXVIII - Erixit du BUS".

(Baca juga:Ternyata, Bukan Thomas Stamford Raffles yang Pertama Menemukan Bunga Rafflesia, Lalu Siapa dong?)

Jangan lupa, Daendels juga begitu tega dan semena-mena "membereskan" pertikaian bersenjata dengan pimpinan Kesultanan Cirebon, menangkap Sultan Banten, menurunkan paksa Sultan Mataram dari Yogyakarta, bahkan mempermalukan Susuhunan Surakarta.

Mungkin, sikap militeristik Daendels inilah (pemerintahannya berakhir pada 1811), yang bikin banyak pembesar Jawa pelan-pelan menerima kedatangan tentara Inggris.

Teruskan Jln. Raya Pos

Demi strategi militer dan kelancaran komunikasi antarkota dan daerah, Daendels memerintahkan semua pejabat asli Jawa untuk menata ulang jalur jalan raya tanah bebatuan di wilayahnya, atau membuat jalur jalan baru yang saat itu belum memakai aspal, apalagi semen betonan.

Pekerjaan yang dikabarkan pustaka klasik sebagai karya selama setahunan, dengan pencapaian sekitar 1.000-an km (Anyer - Panarukan) itu tak hanya hebat, tapi juga menewaskan ribuan orang Jawa sepanjang pembuatannya.

Jalan raya de grote postweg atau Jln. Raya Pos ini dibuat demi kelancaran arus tapak kuda, kaki kerbau, sapi penghela roda kereta, cikar pedati, dan angkutan benda pos mulai surat hingga jasa pengiriman lainnya.

Namun pembuatan jalan ini sebenarnya bukan orisinil ide Daendels.

Jauh hari sebelumnya, aktivitas pengiriman benda "pos darat" sudah ada di masa pemerintahan Gubjen Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1746).

Lebih dari 50 tahun sejak Daendels meneruskan pembangunan jalan pos darat Anyer- Panarukan, Baron van Imhoff yang pendiri Istana Buitenzorg (Bogor), sudah menyelenggarakan jasa pengiriman pos, baik via angkatan kapal layar laut dari Belanda vice-versa, kiriman pos laut antarpulau di Hindia Belanda, maupun kiriman pos darat antar-beberapa kota besar di Jawa.

VOC pun punya karyawan dinas pos dengan sebutan postmeester yang dibantu dua orang kerani atau klerk yang disumpah.

Maklum, dinas pos "taoen doea" itu khusus mengangkut dan mengirimkan dokumen penting negara, termasuk uang kontan gaji karyawan.

(Baca juga:Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta dari Zaman VOC: Siapakah Sosok dalam Lukisan Itu?)

Sebuah dokumen menuturkan peristiwa 15 Maret 1789, tentang adanya hadiah 500 ringgit atau rijksdalder, thaler atau dollar, bagi siapa saja yang mampu menangkap pembunuh karyawan pos di Cirebon.

Seiring jatuhnya Kompeni pada 1799, bersamaan dengan pencabutan "hak oktroinya" sebagai pengusaha di Hindia Timur Belanda, sejak zaman Daendels dan seterusnya, pelayanan dan pemilikan kantor pos berada di tangan pemerintah.

Termasuk hak dan kewajiban pemerintah kolonial Belanda memeriksa dan menyensor surat dan segala isi kiriman lainnya.

Sayangnya, semenjak Daendels menyempurnakan jalur antarkota dan membangun jembatan yang khusus dilalui kendaraan angkutan, berlaku juga pajak "jalan tol" yang diberikan konsesinya ke pengusaha swasta.

Untuk kelancaran dan keamanan, dibangun pondokan untuk petugas keamanan pos, sekaligus pangkalan untuk menggilirkan kuda-kuda segar pengganti kuda hela sebelumnya.

Sistem penggantian dengan pos kuda, di beberapa daerah masih berbekas toponim dengan sebutan pos pengomben atau pos perhentian untuk kuda minum dan istirahat, atau ganti kuda segar baru.

Dengan cara begini, Daendels berusaha meraih cita-citanya menciptakan jalur ekspres atau jalur transportasi cepat untuk penyampaian informasi dari si pengirim ke si penerima, sejalan strategi militernya.

Daendels pun memikirkan servis buat pengguna jalan. Misalnya mengeraskan jalan raya dengan batuan kerikil agar roda tinggi kereta, cikar, dan pedati tidak mudah terperosok ke dalam lumpur.

Sedangkan mulai dari Anyer, melalui Serang dan Tangerang menuju Jakarta misalnya, terdapat 14 "stasion pos", tempat kuda pos diganti.

Dari 14 "stasion pos", delapan berada di Karesidenan Banten. Sementara di Serang dan Tangerang didirikan penginapan tempat untuk makan dan bermalam.

Mulai bangkrut, dipanggil pulang

Pembangunan jalan pos dan pengaturan administrasi tanah jajahan tentu butuh biaya.

Sementara ekonomi Belanda makin bangkrut, tidak mampu lagi mengirimkan dana pembangunan buat Daendels.

Memaksa Daendels menyetujui proyek peningkatan hasil pertanian, khususnya perkebunan kopi, gula, dan nila yang laris diekspor.

Belanda memberlakukan monopoli perdagangan, meski jalur pelayaran ke Eropa (khususnya lewat Laut Jawa) nyaris diblokade Angkatan Laut Inggris.

Sayangnya, perhatian terhadap nasib petani tidak ada sama sekali.

Bahkan penduduk Eropa dan Cina (jumlahnya sekitar 400.000 orang dari total 4,6 juta penduduk Jawa - perkiraan Raffles pada 1813) diwajibkan memberikan sumbangan dengan memberikan garansi barang dagangan tokonya.

Daendels juga mengharuskan adanya uang kertas dengan nominal kecil, sambil menetapkan beberapa peraturan darurat lainnya.

Lepas dari kekejamannya, Daendels tercatat sebagai pendiri jawatan pengairan dan kehutanan, yang bertugas mengawasi penebangan kayu di hutan.

Pemerintahnya juga mengatur kebijakan pengadaan kayu untuk kapal besar, atau untuk industri konstruksi kapal kayu yang sibuk menyediakan cadangan kapal, akibat seringnya gangguan bajak laut.

Meski punya masalah keuangan, Daendels dengan naluri militernya masih membangun dan memperkuat benteng pertahanan, berikut penambahan puluhan meriam besar.

Sebagai jenderal Angkatan Darat, Daendels pun membangunan dan memperluas kompleks militer di sekitaran Lapangan Banteng yang masa itu disebut Paradeplaatz.

Bekas bangunan zaman itu kini masih tersisa di asrama marinir TNI-AL di seputaran Jln. Kwini Jakarta Pusat, atau bangunan megah dan luas yang sekarang dimanfaatkan untuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.

Malah Lapangan Monas yang dulu disebut Koningsplein seluas 1.000 x 850 m, dijadikan lapangan latihan militer yang mampu menampung apel besar 20.000 tentara.

Sedangkan sekitar 9 km di selatan Weltevreden, Daendels membangun tangsi tentara dari Striswijk atau Jln. Raya Matraman sampai ke daerah Meester Cornelis atau Mester di Jatinegara.

Saat itu, kekuatan tentara zaman Daendels di Batavia mencapai 15.000-an personel, campuran tentara Eropa dan penduduk lokal.

Komentar baik buruk

Daendels, pada 1 Desember 1811, dengan kapal perang Sapho, berlayar mudik ke Belanda. Di sana lelaki bertangan besi ini sempat memimpin perang lagi.

Lalu ia diangkat menjadi penguasa di Pantai Emas Afrika. Daendels meninggal pada 2 Mei 1818.

De Haan dalam bukunya setelah Daendels meninggal menyatakan, tulisan dan laporan angka kematian seratusan ribu jiwa pekerja rodi di tangan Daendels selama bikin jalan raya pos, boleh jadi karena pelapornya adalah musuh-musuh Daendels, termasuk mantan Gubjen N. Engelhardt dan T.S. Raffles.

Meski begitu, dalam bukunya The History of Java, 1817, Raffles sempat menulis: "... Marsekal Daendels merupakan gubernur paling aktif dan paling energik."

Juga Mayor William Thorn dalam buku The Conquest of Java, 1815, menulis: "Jenderal Daendels ... begitu sampai langsung bersiap-siap untuk menghadapi serangan angkatan laut dan militer Britania Raya .... Sejumlah rencana yang dimiliki oleh perwira ini, sebagian besar sangat bijaksana."

Namun Lord Minto, Gubjen Inggris di India, menyatakan: "Dia tergolong penjahat dari jenis yang tidak terbayangkan ... seorang monster ... yang kejam dan tidak acuh dengan nyawa manusia, melebihi sebagian besar para tiran revolusi semasa kekuasaan teror

Nama H.W. Daendels memang sama terkenalnya dengan J.P. Coen. Namun Daendels lebih terkenal dengan penerusan jalan raya pos Anyer - Panarukannya.

Bersama ingatan buruk sebagai jenderal bertangan besi, pembunuh, serta tindakannya yang kejam terhadap bangsawan dan penduduk lokal.

Ikuti pasukan Sultan Agung

Catatan sejarah lama menggariskan, soal proyek Anyer - Panarukan, Daendels sebenarnya terinspirasi pasukan Sultan Agung yang pernah menggunakan jalan raya tersebut pada tahun 1614-an, untuk ulang-alik menyerang Batavia - saat itu dipimpin Gubjen VOC Jan Pieterszoon Coen.

Jalan tanah yang mampu dilalui cikar dan pedati dengan roda tinggi berjari-jari, agar mudah ditarik tangan apabila terperosok, konon juga dipakai untuk mengangkut meriam oleh Sultan Agung.

Di beberapa daerah, terdapat pondokan untuk istirahat dan mengganti kuda segar, juga mengikuti lokasi yang sudah ada 200-an tahun lalu, karena bekas pondokan dengan jarak tempuh tertentu, memang masih cocok dan dapat dimanfaatkan, bukan hanya sebagai pos ganti kuda, namun juga sebagai pondok istirahat petugas pos.

Comptoir post jadinya kantor pos

Herman Willem Daendels diduga menjadi "pencipta" kata kantor pos. Ada penelitian kecil menyebutkan, kata kantor itu asalnya dari kata comptoir, lalu lama-kelamaan dikorupsi bunyinya menjadi kantoor.

Kata kantoor yang asal Belanda, kemudian menjadi kata "kantor" sesuai lafal Indonesia.

Kata "pos" juga asalnya dari kata poste atau post, asal dari kata posita. Pada surat menyurat di zaman Daendels, konon tertera cap dan tanggal serta kata postkantoor.

Setelah lepas dari penjajahan Belanda, kata postkantoor menjadi kantor pos. Merdeka!

(Ditulis oleh Rudy Badil. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2008)

Artikel Terkait