Find Us On Social Media :

Masalah Perjanjian Nuklir Kembali Diungkit, Negara-negara Perkasa Ini Malah Diam-diam Mengelak Tak Mau Ikuti Perjanjian

By Maymunah Nasution, Sabtu, 23 Januari 2021 | 14:59 WIB

Ilustrasi senjata nuklir

Intisari-online.com - Perjanjian larangan senjata nuklir telah berlaku, dan perjanjian tersebut dipuji sebagai langkah bersejarah guna membebaskan dunia dari senjata mematikan.

Namun tentu saja, ada negara-negara yang menentang keras perjanjian larangan tersebut.

Menariknya, pertentangan keras tersebut muncul oleh negara-negara perkasa yang memang miliki senjata nuklir.

Perjanjian Larangan Senjata Nuklir kini bagian dari hukum internasional, hasil panen dari kampanye berpuluh-puluh tahun lamanya ditujukan untuk mencegah tindakan serangan AS mengebom Hiroshima dan Nagasaki di ujung Perang Dunia II.

Baca Juga: Dapat Mengguncang Perang Antisubmarine Modern: Intip Kemampuan Drone Bunuh Diri Bawah Air yang Bisa Membunuh Kapal Selam China

Namun membuat semua negara untuk sepakat terhadap isi perjanjian itu sepertinya mustahil di iklim saat ini.

Ketika perjanjian itu disepakati oleh Dewan Umum PBB di Juli 2017 lalu, lebih dari 120 negara setuju, tapi 9 negara pemilik kekuatan nuklir terbesar dunia sama sekali tidak setuju.

Mereka adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, China, Perancis, India, Pakistan, Korea Utara dan Israel.

Tidak hanya itu, 30 negara yang masuk dalam persekutuan NATO juga tidak setuju akan itu.

Baca Juga: Kegirangan Tahu Donald Trump Resmi Lengser, Iran Langsung Dekati Joe Biden di Hari Pertamanya Menjabat, Bahas Pembicaraan Rahasia Ini yang Buat Israel Waspada

Lebih herannya lagi, Jepang, satu-satunya negara yang menderita serangan nuklir, juga malah tidak sepakat dengan perjanjian itu.

Padahal para penyintas pemboman itu mendorong agar kesepakatan itu disepakati oleh Jepang.

Dalih Jepang adalah mereka juga menggunakan dan memiliki senjata nuklir, tapi Pemerintah telah mengatakan mengejar aturan larangan tidak realistis dengan negara-negara pemilik dan non-pemilik nuklir terbagi tidak setara.

Meski begitu, eksekutif direktur untuk Kampanye Internasional Menghapus Senjata Nuklir, Beatrice Fihn, pemenang koalisi Nobel 2017, menyebut hari itu merupakan "hari besar untuk hukum internasional, untuk PBB dan para penyintas Hiroshima dan Nagasaki."

Baca Juga: Deretan Foto Paling Menghantui di Hiroshima, Sesaat Setelah Bom Atom Dijatuhkan, Foto para 'Eksekutor' Sungguh Bikin Getir

Perjanjian itu menerima ratifikasi kelima pada 24 Oktober lalu, memicu periode 90 hari sebelum resmi berlaku pada 22 Januari kemarin.

Kamis lalu, Fihn mengatakan kepada The Associated Press jika 61 negara telah setujui perjanjian itu, dengan persetujuan akan muncul lagi Jumat besoknya.

Perjanjian memerlukan semua negara yang setuju "tidak sedang mengembangkan, menguji, memproduksi, mengembangkan atau memiliki stok nuklir atau alat nuklir lainnya."

Perjanjian ini juga melarang pengiriman atau penggunaan senjata nuklir ataupun bahan peledak nuklir, dan ancaman untuk menggunakan senjata seperti ini, dan memerlukan pihak yang berkepentingan untuk mempromosikan perjanjian ini ke negara lain.

Baca Juga: Iran Lanjutkan Bangun Senjata Nuklirnya, Bukan Hanya Amerika yang Panas Dingin, Tapi Prancis Juga Ketar-ketir, PBB Diamuk dan Desak Beri Hukuman Ini ke Iran

Fihn mengatakan perjanjian ini sangatlah signifikan karena akan menjadi kunci instrumen legal, bersama dengan Konvensi Jenewa dalam mengatur hajat hidup orang banyak dan konvensi melarang senjata kimia dan biologi serta ranjau darat.

Sekretaris Umum PBB Antonio Guterres mengatakan perjanjian itu tunjukkan dukungan untuk pendekatan multilateral untuk pelucutan senjata nuklir.

"Senjata nuklir menjadi ancaman yang tumbuh dan dunia memerlukan aksi mendesak memastikan hilangnya senjata ini dan mencegah bencana manusia dan konsekuensinya terhadap lingkungan," ujarnya.

Namun sepertinya negara pemilik nuklir tidak berpikir demikian.

Baca Juga: Trump Ogah Perbarui Perjanjian Nuklir, Putin Buru-buru Perkuat Bunker 6375 Pengendali Nuklir Rusia, Bersiap Hadapi PD III

Saat perjanjian itu hampir mencapai 50 ratifikasi sesuai yang diperlukan untuk mencapainya bisa berlaku, administrasi Trump menulis surat kepada negara-negara yang setuju.

Surat Trump mengatakan mereka membuat "kesalahan strategis" dan mendesak mereka menarik kembali ratifikasinya.

Surat itu mengatakan kesepakatan itu "mengulang kembali semua usaha verifikasi dan pelucutan" dan akan membahayakan perjanjian setengah abad Non-Proliferasi Nuklir, dianggap sebagai upaya non-proliferasi.

Fihn mengatakan jika larangan tidak akan mengurangi non-proliferasi karena larangan itu adalah "tujuan akhir dari Perjanjian Non-Proliferasi."

Baca Juga: Disimpan di Bawah Tanah Amerika dan Akan Digunakan Jika Perang Dunia II Terjadi, Inilah Nuklir Pemusnah Massal Milik Amerika

Daryl Kimball, direktur eksekutif Asosiasi Pengendalian Senjata, mengatakan kedatangan perjanjian itu merupakan langkah maju yang bersejarah dalam upaya membebaskan dunia dari senjata nuklir dan "mudah-mudahan akan mendorong tindakan baru oleh negara-negara bersenjata nuklir untuk memenuhi komitmen mereka terhadap penghapusan total senjata nuklir. senjata nuklir."

Fihn mengatakan bahwa kampanye melihat dukungan publik yang kuat untuk perjanjian di negara-negara NATO dan tekanan politik yang meningkat, mengutip Belgia dan Spanyol.

"Kami tidak akan berhenti sampai semua orang ikut serta," katanya.

Mereka juga akan mengkampanyekan divestasi - menekan lembaga keuangan untuk berhenti memberikan modal kepada antara 30 dan 40 perusahaan yang terlibat dalam produksi senjata nuklir dan rudal termasuk Airbus, Boeing dan Lockheed Martin.

Baca Juga: Pantas Inggris Punya Nyali Merusuh China, Ternyata Mereka Simpan Senjata yang Bisa Hancurkan Negeri Panda, Amerika dan Rusia Saja Ketakutan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini