Penulis
Intisari-online.com -Sejak Joe Biden sudah disebut-sebut sudah akan memimpin, banyak yang mulai penasaran dengan apa yang selanjutnya Korea Utara lakukan.
Banyak warga Washington mulai bertanya-tanya apakah Kim Jong-Un akan memulai tes rudal balistik antar benua.
Sementara itu di Seoul banyak juga yang bertanya apakah Joe Biden akan mengadakan pertemuan dengan Kim Jong-Un.
Pertanyaan tersebut sebenarnya bersifat traumatis dan dramatis.
Perkembangan senjata Korea Utara dimulai sejak Obama masih memimpin dan memuncak di era Presiden Donald Trump.
Tercatat pada November 2017, Korea Utara berhasil laksanakan tes nuklir rudal balistik antar benua.
Tes itu membawa Semenanjung Korea hampir di tubir perang.
Enam bulan kemudian, niat Trump untuk memulai teater politik membawanya untuk melaksanakan pertemuan di Singapura, Hanoi dan Panmunjom.
Tujuan pertemuan tersebut adalah mencapai mediasi agar terjadinya kesepakatan denuklirisasi.
Namun tidak banyak progres yang didapatkan, dan setelah pembicaraan dua negara rusak setahun yang lalu, pengamat habiskan berbulan-bulan mengharapkan tes nuklir atau ajakan Trump laksanakan pertemuan keempatnya dengan Kim Jong-Un.
Tidak ada yang terjadi.
Sejak 3 November, Trump hadapi kekhawatiran lebih besar daripada Korea Utara, karena ia berusaha mati-matian untuk membalikkan hasil pemilu AS dan menampik kekalahannya.
Kebebalan Trump menjadi penghancur dari dalam untuk proses transisi, membuat hal itu lebih sulit bagi Biden and Kamala Harris untuk menyiapkan administrasi baru Januari mendatang.
Korea Utara tidak diharapkan menjadi prioritas utama, tapi tidak bisa juga jika mereka sepenuhnya diabaikan.
Atas hal ini, banyak pakar yakin jika ide praktis untuk menghancurkan krisis sebelum berkembang adalah mengulur waktu untuk diplomasi.
Ide praktis berupa diplomasi mengara ke ruang antara provokasi dan negosiasi.
Maka inilah beberapa pendapat yang disampaikan oleh para pakar di Foreign Policy.
Sehalus mungkin, presiden terpilih seharusnya umumkan rencana untuk review kebijakan Semenanjung Korea, dengan mengingat langkah-langkah yang pernah diambil oleh Presiden AS sebelumnya.
Administrasi George Bush melengkapi review tersebut pada Juni 2001, saat itu Gedung Putih mencari jalan keluar dari Kerangka Persetujuan yang telah disepakati oleh Bill Clinton dan Kim Jong-Il.
Meninggalkan Kerangka Persetujuan rupanya menjadi masalah baru, yang dirasakan Bush di masa jabatan keduanya saat Korea Utara laksanakan uji senjata nuklir.
Bush kemudian melaksanakan pembicaraan dengan Beijing untuk menenangkan Korea Utara, dan hasilnya tidak begitu sesuai dengan harapannya.
Saat kepemimpinan Obama, ia tidak pernah lakukan review kebijakan, tunjukkan jika ia memiliki prioritas rendah atas isu Korea Utara.
Hal itu juga menjadi masalah, karena di akhir masa jabatan keduanya, Obama memasukkan Kim Jong-Un sebagai masalah keamanan nasional nomor satu.
Segera kepemimpinan ganti kepada Trump, yang tidak lakukan review kebijakan, dan merilis kebijakan tekanan maksimal dan pertemanan pada April 2017.
Hal ini tunjukkan jika lakukan review tidak menjamin kesuksesan dalam diplomasi yang baik dengan Korea Utara, tapi tetap harus lakukan hal itu untuk jaga-jaga.
Banyak yang berharap Biden dan Harris tidak tahu bagaimana menghadapi Korea Utara, sampai mereka memang perlu menghadapinya.
Tentunya, mereka juga harus memiliki penasihat terpercaya untuk mempelajari pilihan yang mereka miliki dan berkonsultasi dengan para pemain utama.
Lebih jauh lagi, mereka juga perlu mengirim sinyal ke Pyongyang dan Seoul yang tunjukkan jika mereka peduli atas keamanan Semenanjung Korea.
Lebih jauh lagi, kebijakan yang diambil di era masa kedua Clinton oleh mantan Menteri Pertahanan William Perry patut dikaji ulang.
Perry kala itu berkonsultasi dengan seluruh agensi demikian juga dengan anggota Kongres untuk menambahkan bahan penting sebagai bagian dari reviewnya.
Diskusi tersebut juga melibatkan berbicara dengan para pejabat Korea Utara di Pyongyang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini