Penulis
Intisari-online.com -Industri kecantikan saat ini sedang mendulang kesuksesan yang seakan-akan terus tumbuh.
Selain industri make up, industri perawatan tubuh, kulit dan rambut sekarang sedang naik daun.
Banyak wanita dan pria berlomba-lomba merawat diri mereka, melalui produk skin care dan body care yang mulai marak di pasaran.
Tidak banyak yang tahu, banyak terkandung di dalam produk skin care dan produk kecantikan adalah hasil penyulingan minyak kelapa sawit.
Mungkin ini penyebab industri kelapa sawit semakin tumbuh pesat.
Sawit memang digunakan untuk banyak hal: minyak goreng sampai jadi bahan dalam campuran produk perawatan wanita.
Perusahaan sawit di Indonesia dan Malaysia berhubungan dengan perusahaan skin care besar seperti L'Oreal, Unilever, Procter & Gamble, Avon dan Johnson & Johnson.
Perkebunan-perkebunan tersebut menyumbang stok produk kelapa sawit untuk dijadikan bahan dalam produk-produk kecantikan berbagai merk tersebut.
Tentunya, salah satu tujuan produk kecantikan adalah menjadikan wanita lebih percaya diri dengan penampilan menarik.
Namun apa yang terjadi ketika dalam proses hulu ke hilir industri tersebut terjadi praktik mengerikan yang merenggut kemerdekaan wanita?
Berikut adalah hasil investigasi mengenai kenyataan mengerikan di perkebunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia.
Para buruh wanita menjadi korban asusila di perkebunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia.
Ironi mengerikan ini secara tidak langsung membuat kredibilitas nama perusahaan kecantikan besar menjadi dipertanyakan.
Investigasi yang diberitakan di banyak media internasional, salah satunya South China Morning Post, jelaskan bagaimana nasib para wanita yang bekerja di industri kelapa sawit.
Ada seorang gadis berumur 16 tahun yang menceritakan bagaimana bosnya memaksanya untuk berhubungan badan di antara tingginya pepohonan kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit Indonesia.
Bos tersebut kemudian mengancamnya dengan menempatkan kapak di tenggorokannya dan memperingatkannya untuk tidak memberi tahu siapapun.
Di perkebunan lain, seorang wanita bernama Ola (bukan nama sebenarnya) mengeluhkan ia menderita demam, batuk dan mimisan setelah bertahun-tahun bekerja menyemprot pestisida tanpa alat pelindung diri.
Berjarak beberapa ratus kilometer lagi, Ita, seorang ibu muda, berduka atas dua jabang bayinya yang keguguran di waktu trimester ketiga.
Pada kedua kehamilan yang tidak berhasil tersebut ia terus-terusan membawa beban yang beratnya lebihi berat tubuhnya, karena ancaman pemecatan menantinya.
Mereka hanyalah segelintir wanita yang tidak terlihat di industri kelapa sawit, di antara jutaan anak, ibu dan nenek yang bekerja di perkebunan besar membentang di Indonesia dan Malaysia.
Kedua negara ini bersama sudah memproduksi 85% dari total seluruh minyak vegetatif dunia.
Kelapa sawit tumbuh dengan cepat karena ditemukan di banyak hal mulai dari keripik kentang sampai pakan hewan, serta sering masuk dalam berbagai produk yang digunakan oleh banyak wanita untuk mempercantik diri mereka.
Investigasi yang dilaksanakan oleh Associated Press (AP) ini fokus kepada perlakuan brutal yang didapat oleh wanita yang bekerja di industri kelapa sawit, termasuk mengenai tindakan asusila kepada para wanita tersebut yang terus-menerus terjadi selama puluhan tahun, mulai dari mendapat cat calls sampai ancaman tindakan asusila.
Tindakan asusila tersebut merupakan bagian dari aksi lebih kejam yang terjadi di Indonesia dan Malaysia, termasuk perdagangan manusia, pemaksaan buruh di bawah umur dan perbudakan.
Perkebunan kelapa sawit memang bukan tempat untuk wanita, dan seringnya para wanita dibebani pekerjaan paling berat di industri tersebut, berjam-jam 'berendam' dalam kubangan air limbah kimia dan membawa beban berat.
Baca Juga: Amankah Berhubungan Badan Saat Hamil Muda, Bisakah Sebabkan Keguguran?
Jika terjadi terus-menerus, wanita-wanita itu dapat kehilangan calon anak mereka dan mengalami keguguran.
Banyak yang dipekerjakan oleh subkontraktor dengan sistem upah harian tanpa ada tambahan upah alias hanya upah minimum harian, dan melakukan pekerjaan yang sama untuk perusahaan yang sama bertahun-tahun lamanya.
Hotler Parsaoran dari kelompok LSM Indonesia Sawit Watch mengatakan "hampir semua perkebunan memiliki masalah dengan buruh, tapi kondisi buruh wanita jauh lebih buruk daripada buruh pria."
AP mewawancarai lebih dari tiga lusin wanita dan perempuan dari setidaknya 12 perusahaan di dua negara, nama mereka disamarkan agar menjaga keselamatan para wanita ini.
Kedua negara juga memiliki tanggapan yang berbeda atas yang terjadi di balik layar industri megah itu.
Pemerintah Malaysia mengatakan mereka tidak menerima laporan apapun mengenai tindakan asusila di perkebunan itu.
Sedangkan pemerintah Indonesia mengakui ada pelanggaran tindakan asusila fisik dan seksual sebagai masalah yang tumbuh dan sedang berusaha mencari solusi terbaik.
Para korban tidak berani menceritakan apa yang terjadi kepada mereka, sehingga investigasi dilaksanakan dengan melihat laporan polisi, dokumen hukum serta keluhan yang diisi oleh serikat buruh dan media lokal.
Para reporter lapang juga mewawancarai hampir 200 pekerja lain, aktivis, pejabat pemerintah dan para pengacara, termasuk yang membantu wanita yang terjebak untuk melarikan diri.
Mereka mengkonfirmasi jika tindakan asusila itu kerap terjadi.
Tindakan asusila bisa terjadi karena hampir di semua perkebunan, banyak pria yang menjadi pengawas dari pekerjaan yang dilakukan oleh para wanita tersebut, membuka kesempatan untuk berbagai tindakan asusila.
Indonesia memiliki hukum untuk melindungi wanita dari tindakan asusila, tapi Rafail Walangitan dari Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan mengatakan ia sudah tahu betul banyak kasus pelanggaran yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dan sedang mengusutnya.
Sedangkan Kementerian Wanita, Keluarga dan Pengembangan Komunitas di Malaysia mengatakan mereka tidak pernah menerima keluhan sama sekali mengenai perlakuan mengerikan kepada buruh wanita di industri kelapa sawit.
Lebih ironis lagi, banyak perusahaan kecantikan hanya diam saat ditanyai mengenai kenyatana ini, tapi bukan karena kurangnya ketidaktahuan mereka.
Kelompok industri global Consumer Goods Forum mempublikasi laporan tahun 2018 yang memberi peringatan kepada 400 CEO bahwa buruh wanita di perkebunan terpapar kontaminasi senyawa kimia berbahaya dan menjadi "subyek kondisi terburuk di antara semua buruh kelapa sawit."
Sementara sebagian besar pembuat kosmetik yang dihubungi AP membela diri jika mereka hanya menggunakan turunan dari produk kelapa sawit, beberapa tunjukkan 'betapa sedikitnya' kelapa sawit yang mereka gunakan dari total kasaran 73 juta ton yang diproduksi tiap tahunnya di seluruh dunia.
Perusahaan kosmetik lain tunjukkan komitmen mereka atas lingkungan yang berkelanjutan dan HAM, serta upaya mereka melakukan hal itu sebagai bagian dari transparansi.
AP menggunakan catatan Bea Cukai AS, daftar bahan produk dan data terbaru yang diterbitkan dari produsen, pedagang dan pembeli untuk menghubungkan minyak sawit buruh dan turunannya dari pabrik yang memprosesnya ke rantai pasokan hampir semua merk besar Barat.
Lini produk Tom's of Maine dan Kiehl's juga terlibat melalui rantai pasokan perusahaan induk raksasa Colgate-Palmolive dan L'Oreal.
Banyak yang tidak menanggapi panggilan AP seperti Coty Inc., yang memiliki CoverGirl.
Sementara Estee Lauder Companies Inc., pemilik Clinique, Lancome dan Aveda, menolak untuk mengungkapkan produk mana yang menggunakan minyak sawit dan turunannya.
Namun Estee Lauder mengakui kesulitan dalam masalah penelusuran dalam pengajuan dengan asosiasi sertifikasi global yang mempromosikan minyak sawit berkelanjutan.
Kedua perusahaan ditambah dengan Clorox, pemilik Burt's Bees Inc., merahasiakan nama pabrik dan pemasok mereka.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini