Akhir tahun 2017, Tokyo memperkenalkan aset pertahanan misil baru yaitu Aegis Ashore.
Juni tahun ini, pemerintah menunda peluncuran pelindung itu karena terkendala biaya dan kekhawatiran keamanan bagi warga lokal.
Penolakan ini memicu debat baru mengenai kebijakan pertahanan Jepang, dan para pembuat kebijakan sadar jika misil yang mereka miliki sekarang tidak cukup untuk lindungi negara mereka.
Walaupun opsi memperkuat sistem pertahanan misil mereka masih ada, termasuk membangun kapal yang khusus untuk misi pertahanan ini, alternatif lain mulai dilirik pejabat Jepang: pembuatan senjata tempur sendiri.
Partai Liberal Demokrat mengusulkan hal ini Agustus lalu untuk mempertimbangkan kepemilikan rudal balistik dan misil lain di teritori musuh.
Mantan Perdana Menteri Abe, meski tidak menyebutkan kemampuan serangan rudal balistik tersebut, umumkan beberapa hari lalu jika kebijakan pertahanan misil akan dikuak akhir tahun ini.
Dengan ini, Tokyo mungkin tidak hanya lindungi diri dengan perisai semata. Mereka mungkin sudah punya tombak sendiri.
Mengingat sejarah, tentunya tidak ada yang mau membangunkan singa yang tidur, demikian pula tentunya tidak ada yang ingin Jepang memiliki rudal balistiknya sendiri, karena bisa sebabkan muncul ketegangan baru yang mungkin lebih parah daripada Perang Dunia II.