Advertorial
Intisari-Online.com -Polah China di kawasan Asia memang membuat banyak negara mulai gerah, tidak terkecuali Jepang.
Pulau-pulau kecil di kawasan Laut China Timur yang selama ini menjadi sengketa antara Jepang dan China mulai jadi perhatian.
Hal ini dipicu oleh aktivitas militer China di sekitar pulau-pulau tersebut yang meningkat secara signifikan.
Bukan apa-apa, China sendiri pernah melakukan hal serupa di Laut China Selatan yang berujung pada pembangunan pangkalan militer di Pulau Spartly.
Jika sampai kecolongan, sama seperti pulau Spartly, kekuatan militer Tiongkok akan melonjak signifikan di Laut China Timur.
Hingga akhirnya Jepang pun harus mengambil keputusan berat yang selama 75 tahun mereka sangat hindari.
Sebuah keputusan terkait hak mereka yang pernah dikunci seriing luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki, yang menandai kekalahan mereka dalam perang Pasifik.
Apa hak yang dimaksud? Dan apa dampaknya pada peta militer di Laut China Timur? Simak ulasannya berikut ini!
Beberapa bulan sebelum mengumumkan pengunduran dirinya, Perdana Menteri Shinzo Abe membuat perubahan kebijakan, yang untuk pertama kalinya memungkinkan militer Jepang merencanakan serangan terhadap sasaran darat.
Pasukan Bela Diri Jepang diarahkan untuk menghentikan penyerang di udara dan laut.
Perubahan kebijakan tersebut akan mengarahkan militer untuk membuat doktrin guna menargetkan situs musuh di darat, sebuah misi yang membutuhkan pembelian senjata jarak jauh seperti rudal jelajah.
Jika diadopsi oleh pemerintahan berikutnya, kebijakan tersebut akan menandai salah satu perubahan paling signifikan dalam sikap militer Jepang sejak akhir Perang Dunia II.
Jepang mencabut haknya untuk berperang setelah Perang Dunia II.
Ini mencerminkan dorongan lama Abe untuk militer yang lebih kuat dan keprihatinan Tokyo yang mendalam tentang pengaruh China di wilayah tersebut.
Pemerintah Jepang khawatir dengan peningkatan aktivitas militer China di sekitar pulau-pulau kecil yang ada di Laut China Timur yang disengketakan.
"Alasan utama tindakan kami adalah China. Kami belum terlalu menekankan hal itu, tetapi pilihan keamanan yang kami buat adalah karena China," kata Masahisa Sato, anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa, seperti dikutip Reuters.
Di Pemerintahan Abe, Sato pernah menjabat sebagai wakil menteri pertahanan dan wakil menteri luar negeri.
Abe menginstruksikan pembuat kebijakan pertahanan senior pada Juni lalu guna membuat proposal LDP untuk militer, yang mencakup doktrin serangan darat atau serangan lainnya.
Usulan itu akan menjadi kebijakan pemerintah jika dimasukkan dalam strategi pertahanan nasional yang direvisi, menurut dua orang dalam partai, termasuk penjabat Sekretaris Jenderal LDP Tomomi Inada.
"Saya kira tidak ada banyak oposisi di LDP," ungkap Inada kepada Reuters. "Arah itu tidak berubah bahkan dengan perdana menteri baru".
Militer sudah bisa menggunakan rudal jarak jauh untuk menyerang kapal. Ia menganggap rencana seperti itu dibenarkan karena harus mampu menghancurkan senjata yang mengancam Jepang.
Proposal serangan darat dibingkai dengan alasan yang sama, menurut mantan menteri pertahanan Itsunori Onodera.
Oleh karena itu, para pendukung kebijakan tersebut mengatakan, hukum Jepang tidak perlu diubah.
Selama delapan tahun menjabat, Abe mendorong tapi gagal mencapai tujuannya untuk merevisi Pasal Sembilan Konstitusi pasca perang.
Dewan Keamanan Nasional Jepang, yang dipimpin Abe dan termasuk para pejabat penting Kabinet, termasuk Suga, bertemu pada Jumat (11/9) untuk membahas strategi pertahanan.
Rudal jelajah BGM-109 Tomahawk buatan AS akan menjadi pilihan senjata serangan darat, kata Katsutoshi Kawano, yang sampai tahun lalu adalah perwira militer paling senior Jepang, Kepala Staf Pasukan Bela Diri.
Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Setelah Perang Dunia II, militer Jepang bisa serang sasaran darat lagi?".