Advertorial
Intisari-online.com -Posisi Jepang dalam mempertahankan kedaulatan Laut China Timur kian terancam oleh aktivitas agresif China.
Menghadapi ancaman yang kian membesar setiap harinya, Jepang berniat untuk luncurkan rudal balistik demi mempertahankan perairan tersebut.
Namun, mengutip dari Reuters tiba-tiba Jepang membatalkan peluncuran rudal balistik tersebut.
Aegis Ashore adalah sistem pertahanan rudal balistik yang direncanakan Jepang mempertahankan kepulauan tak dihuni di Laut China Timur sepanjang 3000 kilometer.
Rupanya, beberapa pembuat kebijakan Jepang ingin Jepang benar-benar capai kemampuan untuk menyerang misil musuh sebelum Aegis Ashore diluncurkan.
Hampir Tidak Mungkin Diluncurkan
Menteri Pertahanan Jepang Taro Kono membuat keputusan mengejutkan yaitu menunda peluncuran Aegis Ashore yang dijadwalkan pada 2025 mendatang.
Dikatakan bahwa, roket peluncur yang digunakan untuk mempercepat misil pencegah SM-3 Block IIA dapat jatuh di sebelah utara Prefektur Akita dan sebelah selatan Prefektur Yamaguchi.
Masalah itu tentunya mengancam rakyat yang hidup di wilayah tersebut.
Namun menurut pakar militer, masalah itu sudah diketahui Jepang semenjak mereka memilih rudal Aegis Ashore 2018 silam.
Pencegah dikembangkan untuk digunakan di laut, tempat puing-puing rudal dapat jatuh tanpa mencederai siapapun.
Menyebutkan kepada Reuters, Yoji Koda, mantan laksamana Pasukan Pertahanan Maritim yang memimpin kapal Angkatan Laut Jepang dari 2007 sampai 2008 menyampaikan: "dari awal, cerita pemerintah Jepang sangatlah tidak mungkin.
"Aku dulunya penembak rudal, aku tahu betapa sulitnya mengontrol jatuhnya peluncur yang telah terbakar."
Selain masalah puing-puing rudal, keputusan Kono juga dipengaruhi oleh biaya dari proyek Aegis Ashore.
Kontrak Aegis Ashore Jepang bernilai 1.7 milyar dolar Amerika, dan lebih dari 100 juta dolar sudah dihabiskan.
Selama 30 tahun kementerian pertahanan mengestimasi pendanaan mereka sekitar 4 milyar dolar Amerika.
Dana itu tidak termasuk pengujian misil, yang disebutkan tahun lalu menghabiskan dana setidaknya 500 juta dolar Amerika.
Alternatif
Untuk sekarang, Jepang akan bergantung pada penghancur dengan radar Aegis tua mereka.
Radar itu akan memandu peluncur SM-3 yang kurang kuat.
Meski kurang kuat, peluncur itu bisa menembak misil musuh di udara dan dapat ditingkatkan untuk mampu menangkis ancaman lain.
Jepang juga memiliki baterai misil PAC-3 Patriot.
Alat ini dapat menembak hulu ledak yang terjun detik-detik terakhir sebelum meledak.
PAC-3 Patriot sedang ditingkatkan jangkauan dan akurasinya oleh Jepang, sedangkan tahun depan Jepang berencana memiliki delapan penghancur Aegis.
Masalah sebenarnya bagi Jepang adalah ketiadaan penerus militer mereka.
Kapal dengan kru sekitar 300 pelaut, membuat angkatan laut kelelahan berjuang menemukan rekrutan baru.
"Memiliki dua atau tiga kapal Aegis di Laut Jepang adalah pembuangan aset.
"Justru, kurasa memiliki Aegis Ashore adalah pilihan bagus," ujar Noboru Yamaguchi, penasihat Badan Perdamaian Sasakawa yang juga mantan jenderal Pasukan Pertahanan Darat.
Jepang dapat menambah lapisan pertahanan mereka, seperti dengan misil Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dari Amerika.
Keunggulan misil ini yaitu membidik hulu ledak dengan kemampuan di antara Patriot dan SM-3s.
Peluncur mereka yang bisa berpindah-pindah lebih mudah dikendalikan daripada Aegis yang hanya bisa berada di satu tempat.
Namun, misil yang terlalu banyak bisa sebabkan protes dari residen Jepang, karena baterai beberapa misil yang menggunakan radar yang kuat akan diperlukan untuk melindungi kota-kota besar Jepang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini