Penulis
Intisari-online.com -Pandemi Covid-19 di Indonesia telah membuat banyak aktivitas terhenti.
Salah satunya adalah kegiatan belajar mengajar, dengan banyak sekolah menyelenggarakan kegiatan sekolah lewat online atau daring.
Hal ini sebabkan orang tua menjadi guru sekaligus pengasuh anak-anaknya setiap saat.
Banyak yang merasa mulai kesulitan akan hal ini.
Karena hal itu, banyak orang tua yang mulai memilih memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan harapan anaknya tumbuh mandiri dan mendapatkan ilmu Islam sekaligus ilmu pengetahuan secara seimbang.
Namun bagi para orang tua sebaiknya memilih sekolah seperti ini cukup hati-hati, karena ada sekolah pesantren yang menjadi 'pabrik' anak-anak militan ISIS.
Mengapa bisa demikian?
Mengutip eurasiarereview.com, para militan ISIS di Indonesia telah bekerja menyusupi sistem pendidikan untuk memproduksi militan-militan ISIS sejak mereka berusia anak-anak.
Diestimasi oleh PAKAR, Organisasi Non-Profit Indonesia yang mempelajari radikalisme di Indonesia, pro-ISIS memiliki 10 sekolah pesantren terdaftar, sebagian besar di pulau Jawa.
Nama sekolah tersebut adalah Rumah Qur'an (RQ) dengan sistem sekolah boarding school dan para siswa hidup berasrama dalam sebuah rumah.
Berdasarkan kapasitas rumahnya, sekolah itu dapat mengakomodasi 8 sampai 24 siswa, baik putra putri dipisah atau dicampur dalam 1 kelompok belajar.
Kurikulum Sekolah
Berdasarkan akun media sosial sekolah-sekolah ini, mereka tawarkan tahfidz (ilmu hafalan Al Quran).
Namun kurikulum yang sebenarnya mereka ajarkan melebihi ilmu tahfidz sebenarnya.
Secara praktiknya, sekolah tawarkan kelas religi dengan kurikulum Salafi.
Dua materi penting adalah Bahasa Arab dan ilmu Tauhid atau yang mereka anggap Monoteisme Islam.
Dari unggahan media sosial tersebut, Bahasa Arab penting untuk memahami maksud dan pesan yang disampaikan Allah SWT di dalam Al Quran serta untuk mempelajari Hadits Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, Tauhid adalah pusat keyakinan umat Muslim.
Sebenarnya, kedua ilmu ini memang penting bagi semua umat Muslim, sayangnya dalam kurikulum Salafi ada yang sedikit diubah.
Tujuan doktrin Salafi adalah dalam ilmu Tauhid diperkenankan untuk menghapus semua bentuk paham politeisme atau shirk.
Lebih dari itu, doktrin mereka juga ajarkan memisahkan diri (bara') dan tidak berkomunikasi (takfir) dengan orang-orang yang agama dan pahamnya tidak sama dengan mereka.
Perlu ditekankan di sini, Ilmu Salafi bukanlah akar dari terorisme dan radikalisme.
Namun bagi pro-ISIS, penting bagi mereka untuk menabur benih antagonisme terhadap 'musuh' Islam dengan mengeksploitasi konsep religius tertentu.
Itulah yang dilakukan oleh para pro-ISIS, menggunakan pemahaman takfir untuk mendoktrin para Muslim dan Muslimah muda menjadi militan ISIS sedari kecil.
Bahkan pemahaman takfir digunakan untuk melegalkan pembunuhan warga Muslim oleh para pro-ISIS, demikian juga pembunuhan warga agama lainnya.
Hasilnya, pengikut ISIS yang menjalankan Rumah Quran di Indonesia telah mengkooptasi prinsip Salafi sebagai pendekatan teologi yang benar terhadap Islam.
"Pembatalan Islam"
Banyak yang telah dibahas tentang gagasan Khilafah yang dianut oleh ISIS dan bagaimana hal itu berhasil menarik pejuang di seluruh dunia.
Namun konsep 'pembatalan' Islam melegalkan kekejaman yang telah dilakukan milisi ISIS terhadap Muslim.
Ide ini menjadi dasar bagi ISIS untuk mengisolasi dan mengucilkan umat Islam yang dianggap tidak berpegang pada ajaran Islam yang 'benar'.
Sekolah-sekolah pro-ISIS telah mengadopsi buku "Pembatalan Islam" sebagai rujukan inti studi Tauhid mereka.
Buku tersebut merupakan terjemahan risalah yang dikenal berjudul "The Nullifiers of Islam" yang ditulis oleh Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab.
'Abd al-Wahhab adalah pendiri doktrin Islam yang dikenal sebagai Wahhabisme.
Menurut Wahhabisme, seperti yang dijelaskan oleh ulama Shaikh Abdullah an-Najmi, ada 10 pembatalan dapat membatalkan agama dan perbuatan baik seseorang.
Jika seseorang melakukan salah satu dari pembatalan ini dan perbuatan baiknya menjadi batal, dia akan diturunkan ke peringkat kafir.
Salah satu pembatalan bagi mereka adalah "siapapun yang tidak mengucilkan orang musyrik, atau meragukan ketidakpercayaan mereka, atau menegaskan keabsahan doktrin mereka, dia adalah kafir berdasarkan konsensus".
Selanjutnya dari unggahan-unggahan itu ada yang berkommentar bahwa orang tua yang mencintai anak-anak mereka harus membiarkan mereka belajar Tauhid acuan ini daripada Matematika, Bahasa Inggris dan Pendidikan Kewarganegaraan, hal ini karena mereka adalah generasi penerus Muwahhid, sebuah istilah yang digunakan oleh ISIS dalam video-video propaganda dan juga publikasinya.
Muwahhid mengacu pada mereka yang tidak hanya mengaku keesaan Allah tapi juga mereka yang berjihad melawan musuh.
Di unggahan lain, tangkapan layar grup WhatsApp terkait menyoroti pencapaian beberapa siswa yang telah menyelesaikan beberapa topik tentang Tauhid berdasarkan buku kecil berjudul "Alwaajibat" (wajib bagi umat Islam), juga ditulis oleh ibn 'Abd al-Wahhab.
Unggahan tersebut menyebutkan bahwa sangat penting untuk mendidik kaum muda melawan bahaya politeistik di zaman modern ─ seperti demokrasi dan bentuk sistem politik lain yang tidak mengakui hukum Syariah.
Unggahan semacam itu telah mengumpulkan banyak 'suka' dan 'komentar' di antara para pengikutnya.
Hal yang membuat semakin khawatir, jumlah sekolah rumahan yang pro-ISIS kemungkinan akan bertambah karena para petugas administrasi bertujuan untuk membangun lebih banyak sekolah serupa di seluruh Indonesia.
Penegak hukum tidak mampu menahan pertumbuhan tersebut karena pengelola sekolah tidak secara teknis terlibat dalam aksi teror.
Sekolah-sekolah ini sama menariknya seperti aliran Jemaah Islamiyah (JI), kelompok jihad terbesar di Indonesia: orang tua yang terlibat dalam kelompok tersebut akan mendaftarkan anak-anak mereka untuk belajar di sekolah tersebut dan menganggap sekolah seperti ini merupakan lembaga penting untuk menanamkan nilai-nilai ISIS atau JI pada anak-anak mereka.
Selain itu, untuk anak-anak yatim dari pengikut pro-ISIS yang orang tuanya ditahan atau dibunuh militan pro-ISIS akan disponsori oleh kelompok amal pro-ISIS saat mereka bersekolah di sekolah tersebut.
Pemerintah perlu bertindak tegas memperlambat pembentukan generasi baru anak-anak militan ini, lebih banyak yang harus dilakukan untuk membendung pertumbuhan sekolah semacam ini terutama jika mereka memberikan nilai-nilai yang bertentangan dengan keamanan negara.
Pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil dapat menguranginya dengan terlebih dahulu memastikan bahwa anak-anak dari narapidana radikal dan militan yang terbunuh tidak bersekolah di sekolah tersebut.
Ini akan membantu menghentikan siklus radikalisme dalam keluarga ISIS.
Kedua, harus ada pendidikan umum di masyarakat tentang sekolah tersebut, terutama di antara orang tua yang tidak curiga yang hanya menginginkan pendidikan agama untuk anak-anaknya.
Perlu kita sadari juga, masing-masing dari kita hanyalah sesama umat manusia, tidak diperkenankan untuk mengkafirkan atau menuhankan satu sama lain karena sama-sama diliputi nafsu beserta akal pikiran.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini