Find Us On Social Media :

Kisah Dokter Relawan yang Tidak Mudik saat Pandemi

By Trisna Wulandari, Senin, 25 Mei 2020 | 17:35 WIB

dr Nia Rahmawinata

Intisari-Online.com - Selepas salat subuh, dr. Nia Rahmawinata bergegas turun mengenakan alat pelindung diri (APD) bersama 12 rekannya.

Memakai baju ruang operasi, handscoon, penutup kepala, masker, goggle, dan hazmat suit sendiri bisa makan waktu 45 menit. 

Sebelum itu, ia juga harus memastikan sudah cukup makan, minum, dan buang air.

Sebisanya, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini tak menghabiskan APD lebih dari satu set per hari, karena tak bisa lepas-pasang begitu saja kalau sudah dipakai.

Ia bercerita, rekannya yang berpostur tinggi atau lebar bahkan terkadang memasang APD 1 jam lebih awal dari shift jaga.

Sebab, APD yang mereka pakai terkadang jadi robek dan harus ditambal dengan selotip. 

Baca Juga: Dipukuli di Tengah Jalan Lalu Dikirim ke Rumah Sakit Jiwa karena Keluhkan Kurangnya APD, Dokter Rao: Haruskah Kami Tangani Pasien Sambil Bertaruh Nyawa?

Mereka juga memastikan area hidung dan bawah kantung mata diplester dengan baik agar tidak lecet akibat tekanan masker dan goggles yang dipakai rapat-rapat.

Terkadang harus ditempelkan hansaplast untuk menghindari lecet di area yang sering mengalami pergesekan atau tekanan.

Terkadang di sekitar goggle juga ditutup rapat dengan selotip untuk menyiasati agar tidak berembun.

“Ada yang pertama kali pasang APD itu sampai tremor (gemetaran),” ujar Nia tertawa.

Tekanan yang para tenaga medis ini hadapi memang tak kecil.

Salah pasang APD, bisa ikut terinfeksi. 

Baca Juga: Sudah Harus Hadapi Pasien yang Bohong, 24 Perawat di RSUD Depok yang Positif Covid-19 Juga Ternyata Hanya Dibekali APD Seperti Ini

Terlebih, para tenaga medis di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran ini bertugas setidaknya 8 jam per hari melayani pasien positif Covid-19.

Terkadang malah overtime. Dan itu menjadi hal yang biasa.

Mengecek pasien yang perlu rapid test, penjadwalan swab, monitoring dan evaluasi terapi, pelaporan dengan dokter spesialis penanggung jawab, pasien yang bisa pulang, ditambah laporan dan pindah tangan tugas ke rekan selanjutnya (operan jaga), kadang tanpa terasa mereka bisa bertugas hingga 10 jam per shift jaga.

Belum lagi proses dekontaminasi berlapis yang harus dilewati.

Nia bercerita, dengan mobilitas tinggi selama bertugas, naik-turun lantai-lantai perawatan, menyelesaikan jobdesk yang tidak sedikit bisa membuat shift jaga sekian jam menjadi tidak terasa.

Baru terasa lelah ketika selesai jaga dan kembali ke kamar.

“Biasanya yang paling menonjol itu rasa haus, yang tidak pernah dirasakan sebelumnya."

"Pernah sekalinya minum kayak onta kehausan.” ujarnya tertawa ketika dihubungi Intisari.

Nia mengaku bersyukur bertemu rekan-rekan yang tak suka mengeluh. 

“Dibawa lucu saja, agar tak terbebani,” tutur Nia.

Baca Juga: Melahirkan di Tengah-tengah Pandemi Virus Corona, Bayi Mungil Ini Hanya Bisa Dijenguk Lewat Jendela Rumah, Sementara Sebagian Ibu Mungkin Harus Melahirkan Sendiri di Rumah