Penulis
Intisari-Online.com -Setelah China, negara yang paling merasakan 'hantaman' akibat virus corona adalah Singapura.
Dengan jumlah korban yang terpapar virus corona mencapai 24 orang, maka Singapura menjadi negara tertinggi kedua di dunia yang terpapar virus corona.
Tak pelak, perekonomian Singapura pun terkena imbas.
Apalagi, Singapura juga menjadi salah satu negara yang paling bergantung pada China.
Warga Singapura sendiri mengalami kecemasan hebat terkaitwabah virus corona atau Covid-19 menyebar ke seluruh wilayah.
Dampaknya, terjadi aksi panic buying atau pembelian karena rasa panik.
Selain masker, salah satu barang yang paling banyak diburu adalah tisu toilet.
Ini menjadikan tisu toilet sebagai mata uang panas di kedua negara.
Melansir South China Morning Post, antrian panjang seperti ular menjadi pemandangan biasa di toko-toko ritel di seluruh Singapura dan Hong Kong.
Banyak warga yang berdesakan untuk mengambil tisu toilet, beras dan barang-barang tidak tahan lama lainnya.
Padahal, pemasok makanan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa tidak perlu menimbun barang-barang.
“Sama sekali tidak perlu panik membeli. Kami selalu bekerja untuk memastikan pasokan makanan yang stabil dan selama bertahun-tahun, di semua jenis acara besar, kami tidak pernah kekurangan,” jelas Thomas Ng Wing-yan, ketua Dewan Makanan Hong Kong, mengatakan dalam konferensi pers, seperti yang dikutip South China Morning Post.
Di Singapura, panic buying sudah terjadi sejak pekan lalu.
Dalam kolom komentar yang ditulis oleh Annie Tan di channelnewsasia.com, panic buying tisu toilet terjadi setelah dikeluarkannya Dorcson Orange update oleh pemerintah.
Hal ini mengindikasikan bahwa virus corona berbahaya dan mudah menular.
Sekitar 30 menit pasca peringatan tersebut dirilis, supermarket langsung dipenuhi warga.
Sejumlah barang yang diborong adalah tisu toilet dan mi instan.
Annie Tan menilai, panic buying warga Singapura memiliki alasan tersendiri.
"Mungkin gambaran menakutkan tentang "kota hantu" di Hubei, dikuncinya sekitar 50 juta orang, dan rak-rak kosong di Hong Kong membuat naluri warga Singapura tergerak.
Ini juga yang memicu naluri untuk melindungi warga Singapura terhadap keluarga dan teman-teman mereka," jelasnya.
Melansir Bloomberg, seorang warga Amerika, Joel Werner, menjalankan hedge fund Solitude Capital Management di Hong Kong.
Pada 10 Februari, dia harus membeli 216 gulungan kertas toilet di Amazon.com
Inc setelah keluarganya berusaha untuk menemukannya di Hong Kong selama berhari-hari, namun sia-sia.
Biaya pengirimannya saja mencapai US$ 200. Akan tetapi, dia pikir itu layak.
Dia menyimpan setengah dari kertas toilet itu dan berencana untuk memberikan sisanya kepada teman dan kolega.
"Ini (kertas toilet) menjadi hadiah yang terbaik daripada anggur sekarang," katanya kepada Bloomberg.
Alat-alat rumah tangga juga tengah naik daun dalam kehidupan sosial di Hong Kong.
Saat sekelompok teman berkumpul di sebuah restoran Hong Kong pada pekan ini, mereka diminta untuk membawa kontribusi seperti masket dan tisu toilet untuk undian berhadiah.
Penyebab kurangnya pasokan tisu toilet tidak jelas. Akan tetapi, spekulasi muncul di media sosial tentang kemungkinan perebutan yang melibatkan rantai pasokan di China daratan.
Pemerintah Hong Kong menyayangkan adanya tindakan jahat menyebarkan desas-desus tidak jelas sehingga menyebabkan kekurangan produk seperti beras dan kertas toilet.
Ia menambahkan, langkah-langkah untuk mencegah penyebaran virus corona tidak akan mempengaruhi pergerakan barang melintasi perbatasan.
Vinda International Holdings, produsen kertas toilet yang terdaftar di bursa Hong Kong, tidak menanggapi pertanyaan dari Bloomberg.
Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Tisu toilet berubah menjadi mata uang paling diburu di Singapura dan Hong Kong".