Advertorial
Intisari-online.com - Hingga saat ini virus corona adalah topik terpanas dunia karena memicu ketakutan telah mewabah hingga seluruh dunia.
Salah satu negara yang mungkin sangat tertutup seperti Korea Utara menyembunyikan banyak fakta tentang terpaparnya virus corona di negaranya.
Seperti dikutip dari Daily Mirror pada Jumat (14/2/2020), diberitakan Korea Utara telah mengeksekusi pejabatnya karena diduga menderita virus corona.
Sebelumnya pejabat tersebut melanggar ketentuan karantina virus coronanya.
Pejabat perdagangan itu ditempatkan di karantina medis setelah kembali dari China.
Namun, dia tidak mau ditempatkan di karantina dan ketahuan pergi ke pemandian umum, karena itulah dia datangkap dan langsung ditembak mati.
Itu bukan kasus satu-satunya, karena seorang pejabat di Badan Keamanan Nasional juga diturunkan dari jabatannya karena menyembunyikan perjalanan ke China.
Hal itu memicu spekulasi bagaimana Korea Utara seolah terlihat panik jika wabah tersebut menyerang negara komunis tersebut.
Terlebih Korea Utara berbatasan langsung dengna China mereka juga menutup ketat perbatasan dan melarang terjadinya perjalanan lintas negara.
Hingga saat ini Korea Utara juga tidak terbuka dan belum melaporkan terjadinya wabah virus corona.
Namun, sebagian besar skeptis karena negara itu berbagi perbatan dengan China sementara ratusan ribu orang di China terkonfirmasi terpapar virus corona.
"Pihak berwenang Korea Utara mengatakan kepada FAO bahwa tidak ada kasus virus corona baru, tetapi kami curiga terhadap klaim tersebut," kata Bir Mandal dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Sedangkan menurut beberapa sumber seperti North Korea Daily menyebut, virus corona bisa saja menghancurkan negara komunis tersebut jika wabah itu menyerang.
Dengan populasi lebih dari 25 juta orang, wabah itu bisa mengancurkan Korea Utara karena negara tersebut terlalu miskin.
Sarjana Korea Utara Profesor Robert E.Kelly mengungkapkan kebobrokan negara tersebut.
Pada masa lalu Korut pernah mengalami kelaparan di mana hal itu menyebabkan kehancuran negara komunis itu hingga menewaskan 3,5 juta jiwa.
Korea Utara juga mengatakan virus itu adalah "pertarungan" dan merupakan masalah bagi "kelangsungan hidup" negara.
Profesor Kelly, dari Universitas Nasional Pusan, mengatakan, "Korea Utara tidak memiliki dokter, rumah sakit, cadangan obat-obatan, peralatan medis modern, dan sebagainya untuk merespons secara memadai dan mencegah penyebaran spiral."
"Epidemi akan, seperti yang disadari rezim itu sendiri, adalah masalah kelangsungan hidup nasional," katanya
Dia menambahkan, "Pyongyang tidak memiliki sumber daya maupun budaya administratif transparansi, empirisme yang terpisah dari ideologi, teknokrasi untuk menanggapi epidemi yang sebenarnya."
Baca Juga: 8 Manfaat Jahe Merah, Minum Air Rebusannya, Sakit Kepala Lewat Jantung pun Sehat
"Bantuan asing yang berkelanjutan dan, gagal itu, penindasan brutal hampir pasti diperlukan untuk mencegah wabah lokal," jelasnya.
Profesor juga sistem perawatan kesehatan Korea Utara telah "rusak selama beberapa dekade" dan tidak akan mampu mengatasinya.
Selain itu mantan dokter Korea Utara Choi Jung-hun juga ungkapkan hal serupa, yang menyebut Pyongyang tidak memiliki sumber daya melakukan karantina skala penuh.
Dia bekerja pada wabah campak di dalam negeri pada 2006 hingga 2007 dan mengatakan petugas medis tidak siap untuk melawan.
"Masalahnya di Korea Utara adalah bahwa petunjuk manual tidak diikuti," dokter menjelaskan.
"Ketika tidak ada cukup makanan yang disediakan untuk orang-orang di rumah sakit dan fasilitas karantina, orang-orang melarikan diri untuk mencari makanan," katanya.
Sementara itu Korea Utara menghadapi ancaman menyegel perbatasannya dan memperburuk ekonomi yang sudah hancur.