Find Us On Social Media :

Gegara Dibully Waktu Kecil, Marshanda Sampai Kini Masih Traumatis, Korban Bully Ternyata Akan Terus Trauma Selama 40 Tahun

By Mentari DP, Senin, 28 Oktober 2019 | 17:00 WIB

 

Intisari-Online.com – Jika Anda lahir di awal tahun 2000-an, pasti Anda mengenal siapa Marshanda.

Marshanda merupakan artis peran yang sudah terkenal sejak kecil hingga kini.

Dia telah bermain dibeberapa sinetron popular seperti Bidadari dan sebagainya.

Bisa dibilang, Marshanda merupakan superstar pada zamannya.

Baca Juga: Pernikahan Krisdayanti dan Raul Lemos Diterpa Isu Selingkuh: Studi Buktikan Orang yang Pernah Berselingkuh Akan Kembali Selingkuh di Lain Waktu

Namun, kita juga tahu bahwa wanita yang akrab dipanggil Caca ini juga pernah menjadi korban bully. Dan kejadian tersebut masih berdampak padanya.

Marshanda mengakui dirinya masih trauma dan masih segan untuk bertemu teman-teman yang pernah membulinya dulu.

"Jujur aku sih masih trauma sampai sekarang karena aku kan waktu SD dibully, walaupun sekarang aku kalau ketemu teman-teman SD aku mereka kayak 'sudahlah Ca, kita tuh care sama lo', tapi aku tetap aja segan sama mereka," ucap Marshanda di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Meski kini sudah mulai membaik, Marshanda mengaku sempat terjebak dalam kondisi tak nyaman selama bertahun-tahun karena efek dari perlakuan bully teman-temannya.

Tak hanya itu, Marshanda juga sempat merasa takut masuk ke dalam situasi sosial.

"Aku sempat merasa selalu seperti itu, apalagi ketika diundang di acara TV, awards ketemu musisi artis lain yang lebih senior, itu jujur selalu tegang karena itu tadi," tambah Marshanda.

Bisa dibilang, kasus bullying sering terjadi di Indonesia. Entah terjadi pada seorang aktris atau aktor, kadang juga terjadi pada teman kita.

Belum ada hukuman pasti untuk seorang yang melakukan bully. Jika dia masih sekolah, mungkin akan dikeluarkan dari sekolah.

Seperti kasus bullying di Thamrin City yang melibatkan 9 siswa SD dan SMP pada tahun 2018 silam.

Walau mereka sudah dikeluarkan dari sekolah atau melalui proses hukum, itu tidak membuat semuanya terasa benar.

Sebab, penderitaan korban bisa jadi tidak berhenti sampai di situ.

Baca Juga: Putri Marino Akui Alami Cedera Tulang Belakang, Apakah Sakit di Tulang Belakang Bisa Terkait Dengan Penyakit Lain?

Sebuah penelitian terbaru mengemukakan, korban bullying di masa kecil ternyata berdampak 40 tahun kemudian, mulai dari efek sosial, fisik, sampai kesehatan mental.

Korban bullying tersebut memiliki risiko besar, memperoleh kesehatan fisik dan mental buruk pada umur 50 tahun.

Sering di-bully juga meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan kemauan untuk bunuh diri.

Penelitian yang dilakukan British National Child Development Study pada anak-anak yang lahir di Inggris ini, coba mengikuti perkembangan 7,771 anak berumur 7 sampai 11 tahun.

Ryu Takizawa, pimpinan penulis Institute of Psychiatry di King’s College London, mengatakan jika penelitian mereka menunjukan efek bullying masih terasa empat dekade kemudian.

“Dampak bullying sangat keras dan meresap, dengan konsekuensinya terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi, dapat berlangsung lebih lama,” ujar Takizawa seperti dilansir dari sciencedaily.com pada 2017 silam.

Individu yang di-bully pada masa kecil juga berisiko memiliki tingkat edukasi rendah, dengan lelaki yang dibully lebih berisiko untuk menganggur.

Hubungan sosial ternyata juga bisa terpegaruh. Dibully membuat mereka malas untuk melakukan aktivitas sosial, dan menurun tingkat kepuasan hidupnya.

Profesor Louise Arseneault, penulis senior dari Institute of Psychiatry di King’s menambahkan,

“Kita harus membuang jauh-jauh persepsi jika perilaku bullying itu tidak bisa terhindarkan dalam pertumbuhan.”

“Guru, orang tua, dan pembuat kebijakan harus waspada, apa yang terjadi di taman bermain anak-anak (bullying) memiliki dampak jangka panjang terhadap mereka.”

“40 tahun itu waktu yang panjang, jadi tidak ada keraguan tentang pengalaman anak-anak muda bisa melindungi mereka dari bullying, atau memperburuknya,” ujar Arseneault.

Baca Juga: Tak Hanya Untuk Berenang, Air di Kalibiru di Raja Ampat Juga Bisa Diminum oleh Wisawatan, Ini Alasannya

Tak sampai disitu, menurut sebuah studi terbaru dari tim peneliti gabungan internasional menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban perundungan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri saat sudah remaja.

Temuan tersebut berdasarkan hasil pengamatan selama 15 tahun terhadap perkembangan 1.136 anak yang lahir pada tahun 1997 sampai 1998 dalam data studi jangka panjang di Quebec, Kanada.

Mereka mengamati laporan perundungan dari anak-anak berusia 6, 7, 8, 10, 12, dan 13 tahun.

Jumlah anak perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki, yakni 53 persen. 

Mereka pun berasal dari latar belakang sosial ekonomi, struktur keluarga yang berbeda. 

Peneliti kemudian mengategorikan subyek penelitian menjadi beberapa kelompok, yakni bukan korban perundungan, korban ringan, dan korban parah.

Dalam pengamatan para ilmuwan yang dipublikasikan di Canadian Medical Association Journal pada tahun 2018 silam, keinginan untuk bunuh diri saat remaja salah satunya disebabkan oleh gangguan kesehatan mental yang berasal dari pengalaman masa kecil.

"Temuan kami menunjukkan ada sekitar 15 persen anak-anak yang menjadi korban parah akan kekerasan sejak awal di sekolah sampai transisi ke sekolah menengah atas," kata Dr Marie-Claude Geoffroy dari McGill Group.

"Anak-anak ini memiliki risiko lebih besar mengalami gejala depresi atau kecemasan hingga bunuh diri saat mereka remaja," sambungnya.

Studi yang dilakukan Geoffroy bersama rekan penelitiannya menemukan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan parah dua kali lipat lebih mungkin memiliki gejala depresi saat mereka berusia berusia 15 tahun.

Mereka pun memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar untuk mengalami kecemasan dan hampir 3,5 kali lebih mungkin untuk melaporkan keinginan bunuh diri dibanding anak-anak dalam kategori tidak pernah atau jarang mengalami kekerasan.

Lalu, sekitar 59 persen anak-anak mengalami kekerasan saat mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan rutinitas kekerasan terhadap teman cenderung menurun saat usia anak-anak bertambah.

Baca Juga: Kasus Dugaan Prostitusi di Malang, Begini Sejarah Praktik Prostitusi dalam Peradaban Manusia, Dari Prostitusi Kuil Hingga Penghibur Prajurit yang Berperang