Find Us On Social Media :

Dengan Rutin dan Disiplin, Hensis Membuktikan: Tubuh Ibarat Mesin

By Agus Surono, Senin, 7 Oktober 2019 | 17:15 WIB

Hendra Siswanto (39) menunjukan penghargaan medali perunggu lomba lari ultramaraton yang diraihnya pada lomba Lintas Sumbawa di kawasan Lapangan Banteng. Rabu (19/9)

Dia juga begitu menikmati beberapa kemajuan lainnya. Pada 2014, detak jantungnya masih 180 kali per menit. Setahun kemudian, detak jantungnya menurun menjadi 160 kali per menit. ”Progres itu membuat saya berpikir tubuh ini seperti mesin yang bisa di-upgrade,” tuturnya.

Dalam meng-upgrade kemampuan tubuhnya itu, Hensis melakukan pendekatan melalui sport science. Latar belakangnya di bidang teknik tak membuatnya kesulitan untuk mengolah data, menganalisisnya, kemudian membuat kesimpulan.

Baca Juga: Salut, Ibu Ini Pecahkan Rekor Dunia Setelah Selesaikan Lari Marathon Sambil Mendorong Stroller Berisi 3 Anaknya

“Modalnya sih hanya spreadsheet,” katanya sambil menunjukkan beberapa grafik-grafik di iPadnya. Dari situ Hensis bisa tahu progres peningkatan performa tubuhnya. Detak jantung yang menurun, padahal kecepatan larinya tetap, hanyalah salah satu hasil dari progres yang progresif tadi.

Sekali lagi Hensis menekankan bahwa memberi beban ke tubuh harus secara progresif. Jadi tubuh terbiasa. Bukan terbebani. Makanya, melihat latihan-latihan yang dilakukan Hensis semuanya terukur. Tentu juga tercatat rapi.

Ketika akhirnya “jatuh cinta” pada lari ultra (jarak di atas marathon 42,195 km), ia pun mulai banyak belajar soal ketahanan tubuh, fokus, serta metabolisme. Sekali lagi tubuhnya menjadi laboratorium hidup. Monas menjadi salah satu tempat ujicoba itu.

Selain membentuk tubuhnya beradaptasi, berlari mengelilingi kawasan Monas sejauh sekitar 3 km berkali-kali (bayangkan untuk persiapan Tambora Challenge 320 K pada 2019 ia sehari berlari 60 km) juga membuatnya tahan bosan dan tetap fokus.

 

Cukup separo

Dari Tambora Challenge yang diikuti Hensis, ia jadi tahu faktor apa saja yang membuat orang bisa berlari ratusan kilometer. Salah satunya metabolisme tubuh. Dibandingkan dua faktor lain, fisik dan mental, faktor ini masih sering diabaikan orang. Padahal, semakin panjang jarak lari, faktor metabolisme ini sangat berperan dalam dunia endurance.

Metabolisme ini berkaitan dengan nutrisi dan istirahat. Ini harus dilatih secara terus-menerus. Jika bisa mengetahui kapasitas tubuh, maka kita bisa membuat tubuh bekerja nyaman untuk menyuplai energi yang diperlukan. Tidak ngoyo yang justru malah membuat tubuh akan defisit energi.

Penjelasan secara medis adalah ketika kita berlari, pasokan darah dialihkan ke hampir semua otot-otot kita yang bekerja. Termasuk ke bagian perut, terutama usus. Oleh sebab itu, ketika berlari ultra dengan relatif memaksakan diri, makanan akan tercerna lebih lambat. Ini yang akan menyebabkan gangguan pada perut, termasuk kram, mual, lemas, dan hilangnya selera makan karena perut pada dasarnya masih penuh.