Find Us On Social Media :

Dengan Rutin dan Disiplin, Hensis Membuktikan: Tubuh Ibarat Mesin

By Agus Surono, Senin, 7 Oktober 2019 | 17:15 WIB

Hendra Siswanto (39) menunjukan penghargaan medali perunggu lomba lari ultramaraton yang diraihnya pada lomba Lintas Sumbawa di kawasan Lapangan Banteng. Rabu (19/9)

Untuk menuju ke arah itu diperlukan data. Salah satu yang penting adalah data soal denyut jantung kita ketika berlari. Dari denyut jantung ini Hendra Siswanto bisa mengolah tubuhnya layaknya mesin. Ditingkatkan secara berkala, meski untuk itu membutuhkan waktu yang lama.

“Saya percaya kata-kata, ‘kita bisa karena terbiasa’,” kata Hendra Siswanto yang di kalangan pelari dikenal dengan panggilan Hensis ini.

Pengalaman Hensis membuktikan ujaran kolot itu. Ia memulai lari pada 2013. Gara-garanya kadar kolesterolnya tinggi. Pada pemeriksaan tahun-tahun sebelumnya, ia abaikan angka itu karena belum melewati ambang batas.

Akan tetapi, “Kali ini aku seperti tersambar petir di siang bolong. Ada dua pilihan yang harus aku ambil jika ingin tetap sehat dan berumur panjang supaya bisa melihat anak-anakku tumbuh menjadi dewasa nanti. Minum obat setiap hari atau berolahraga rutin.”

Baca Juga: Pelari Marathon Meninggal Saat Lomba, Ini 4 Hal yang Perlu Dipahami Agar Terhindar dari Serangan Jantung

Sejak itulah, tepatnya Agustus 2013, Hensis mulai rajin lari pagi. Setiap dua hari, menggunakan sepatu lari usang berbantalan keras dan memakai pakaian tidur, ia berlari di pagi hari sekitar 30 menit. Rumahnya yang tak jauh dari Monas membuat salah satu ikon Jakarta itu sebagai tempat berlarinya.

Bermula dari tantangan pribadi yang sangat sederhana itu, lari pagi sekitar 30 menit setiap dua hari itu, Hensis bisa konsisten berlari selama sebulan. Ia memantau larinya dengan pencatat jarak. Perlahan-lahan jarak larinya mulai jauh. Mulai dari 4 km, 5 km, sampai akhirnya 6 km. “Pikiranku menjadi terbuka, jikalau tubuh ini diolah perlahan-lahan namun konsisten, seterusnya akan menjadi lebih baik,” katanya.

Pada 2013 itu Hensis hanya memakai pedometer pengukur jarak. Hasilnya dicatat secar manual menggunakan perangkat lunak Excel di komputer. Dari situ terlihat, dari Agustus sampai Desember 2013 ia berlari kurang lebih 25 km/minggu dengan lari terjauh hanya 10 km saja.

 

Harus progresif

Awal 2014 Hensis mendaftar lomba maraton di Jakarta Marathon yang diselenggarakan pada bulan Oktober. Ia pun kemudian membikin program. Target sebulan harus mencapai jarak lari total 100 km. Jika dipecah per minggu menjadi 25 km/minggu dan sehari sekitar 5 km. Ada satu hari untuk istirahat. (Tiap bulan target itu dinaikkan 20 persen, sampai akhirnya bulan Desember menjadi 450 km.)

”Setelah mulai berlari, kolesterol baiknya naik. Kolesterolnya tidak bisa turun seluruhnya karena sudah genetik. Akan tetapi, karena ada dampak baiknya, ya, sudah saya lanjutkan.”