Find Us On Social Media :

Shell Shock, Saat Para Tentara Alami Trauma Hebat dalam Perang Dunia I, Namun Justru 'Diobati' dengan Cara Dihukum Mati

By Ade S, Rabu, 25 September 2019 | 17:20 WIB

Sheel Shock, trauma yang dialami para tentara setelah Perang Dunia I

Intisari-Online.com - Pernahkah Anda membayangkan hidup di antara laju peluru dan letusan bom-bom pembunuh?

Pernahkah pula Anda membayangkan seperti apa rasanya ketika nyawa selamat namun bayangan akan peluru-peluru dan bom-bom yang mengancam nyawa masih terus menghantui?

Nah, kira-kira seperti itulah yang dialami oleh para veteran Perang Dunia I.

Kondisi mereka dikenal dengan shell shock yang belakangan mendapat istilah ilmiah sebagai post-trumatic stress disorder (PTSD).

Baca Juga: Bukan Karena Sisa Bom Perang Dunia II Meledak, Tapi Gubernur Maluku Sebut Ribuan Ikan Mati Misterius Karena Hal Ini

Ya, shell shock adalah sindrom gangguan syaraf akibat Perang Dunia I (1914-1918) yang pertama kali disebutkan di media pada 1915.

Banyak tentara ditemukan mengidap shell shock karena sangat menderita dalam peperangan.

Hal itu dikarenakan pertempuran tiada henti dan ledakan-ledakan berat yang dihadapi.

Pasukan yang menderita shell sock akan mengalami kesusahan tidur, mereka selalu panik mendengar suara keras, tembakan, dan teriakan-teriakan serupa.

Baca Juga: Berawal dari Lelucon Kotak Daging Masa Perang Dunia I, Inilah Julukan Paman Sam bagi Amerika Serikat Berasal

Shell Shock sungguh menyeramkan hingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk berjalan dan berbicara.

 

Sejarah

Gejala yang terkait dengan shell sock mulai muncul pada tahap awal perang.

Pasukan Inggris adalah salah satu yang melaporkan gejala ini.

Ia dikaitkan dengan cidera kepala dan ditandai dengan tinnitus (mendengar hal yang tidak ada), sakit kepala, pusing, amnesia, dan tremor.

Pada 1914, jumlah tentara Inggris yang melaporkan gejala ini mencapai 4%, sedangkan untuk petugas mencapai 10%.

Shell shock yang berupa masalah psikologis dan emosional ditentang oleh sebagian besar dokter dan pejabat.

Baca Juga: Fakta Kaisar Hirohito, Sang Tenno Heika Jepang Masa Perang Dunia II yang Tak Boleh Dipandang oleh Mata Rakyat Jelata

Menurut mereka itu adalah gangguan luar atau fisik.

Para penderita shell shock kemudian dicap sebagai seorang pengecut tidak berkarakter yang kehilangan kejantanan.

 

Korban atau Pengecut

Tentara Inggris yang menderita shell shock akan diadili karena kepengecutan dan desersi (pengingkaran tugas).

Bukanlah hal biasa bagi pasukan Inggris untuk dieksekusi karena kejahatan perang, tapi itu memang terjadi.

Sedikitnya lebih dari 3.000 tentara yang menerima hukuman mati.

Beberapa dihukum karena dianggap sebagai pengecut, namun kebanyakan karena dianggap melakukan desersi.

Baca Juga: Bersama Kedipan Genit, Tahanan Perang Nazi Itu Berikan Strudel Apel Spesial untuk Perawat Militer Amerika, Kisah Cinta Terlarang Masa Perang Dunia II

Bagaimana Menyembuhkan Diri dari Trauma

Gangguan stress pasca-trauma atau yang lebih dikenal dengan PTSD (post-traumatic stress disorder) adalah gangguan kesehatan mental yang cukup serius, diakibatkan oleh suatu kejadian yang menyebabkan seseorang trauma.

Meskipun pengalaman yang dialami seseorang tidak selalu seburuk apa yang mereka pikirkan, namun kondisi trauma dapat menyebabkan ia merasa dalam bahaya, hanya dengan mengingat suatu hal dari pengalaman tersebut.

Perubahan gaya hidup adalah salah satu cara untuk merubah pemikiran seseorang terhadap suatu hal dan diharapkan dapat mengurangi gejala seseorang yang mengalami PTSD. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi PTSD.

1. Kenali gejala PTSD

Pengalaman seperti bencana alam, penganiayaan, kecelakaan, atau terorisme dapat dengan mudah kembali teringat oleh penderita PTSD melalui mimpi buruk, ingatan sekilas, ataupun ingatan yang mengganggu pikiran.

Orang yang mengalami PTSD sering kali tidak dapat mengekspresikan emosi, menarik diri dari berbagai rutinitas dan lingkungan sosial, serta mengalami berbagai gejala gangguan kognitif. Dalam jangka panjang PTSD dapat memicu depresi dan panic attack.

Mencari tahu penyebab trauma seseorang diperlukan untuk mengetahui bagaimana mencegah rasa trauma datang kembali.

Di samping itu, bergabung dengan kelompok dukungan terkait trauma tersebut dapat membantu mengingatkan bahwa kita tidak sendiri mengalami kondisi ini.

Baca Juga: Jasad Pahlawan Perang Dunia II Terbengkalai di Ladang, Setelah 77 Tahun Baru Bisa Dikuburkan dengan Benar

2. Mendekatkan diri kembali ke lingkungan sosial

Menjauhkan diri dari orang terdekat malah dapat menyebabkan kita sering sendirian, dan cenderung mengingat kembali apa yang membuat trauma.

Sebaliknya, berbagi cerita dengan seseorang dapat mengurangi tekanan pikiran dibanding menyimpan masalah yang dialami sendiri. Lingkungan keluarga dan teman adalah tempat terbaik untuk mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.

3. Memulai terapi

Beberapa gejala PTSD dapat membuat kita merasa lelah dan mengurangi kualitas waktu istirahat. Akibatnya performa dalam pekerjaan, sekolah, maupun hubungan pribadi pun jadi terganggu.

Terapi adalah salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut, baik terapi kejiwaan maupun konsumsi obat seperti anti-depresan dan obat tidur.

Upaya ini tidak menghasilkan efek yang cepat, namun penting dilakukan untuk membantu menghadapi trauma dengan kondisi pikiran yang lebih jernih. Iringi terapi dengan mengurangi sumber stres agar pemulihan PTSD berjalan efektif.

4. Alihkan perhatian dengan hal yang positif

Berbagai aktivitas seperti bekerja maupun menjadi relawan adalah salah satu cara mengalihkan pikiran dari ingatan dan emosi yang tidak diinginkan.

Baca Juga: Senjata Berat hingga Senapan Mesin, Ini 8 Senjata Paling Mematikan dalam Perang Dunia I

Meskipun menfokuskan pikiran pada suatu pekerjaan tidak akan langsung menghilangkan gejala PTSD, namun hal ini dapat meminimalisir dampak buruk saat mengingat trauma yang dialami, dan membantu menyeimbangkan kehidupan kembali.

Mengalihkan perhatian kepada hal positif saat sendirian adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk mencegah ingatan trauma datang kembali.

5. Memulai aktivitas relaksasi secara rutin

Hal ini dapat dilakukan dengan menjalani berbagai aktivitas yang dapat membuat pikiran menjadi lebih tenang, seperti mendengarkan musik, meditasi, stretching, rekreasi, maupun berolahraga.

Kondisi rileks tidak hanya membutuhkan ketenangan pikiran, namun juga memerlukan kekuatan fisik. Oleh karena, itu keduanya perlu terpenuhi saat melakukan aktivitas relaksasi.

Namun perlu diingat, tujuan melakukan aktivitas tersebut adalah melupakan sejenak segala hal yang membuat stress atau yang memperburuk kondisi emosi, sehingga pilihlah aktivitas yang benar-benar membuat pikiran tenang.

Hindari aktivitas dengan stimulus negatif dari lingkungan saat sedang berupaya untuk rileks, misalnya mendengarkan lagu sedih yang dapat mempengaruhi kondisi emosi.

Hal ini tidak akan membantu menjadi lebih tenang dan hanya akan membuat kita menarik diri dari aktivitas tersebut.

(Muflika Nur Fuaddah)

Baca Juga: Dijatuhi 165 Bom Raksasa Selama Perang Dunia II, Masih Ada 10 Bom Tertanam di Bawah Tanah Pompeii yang Kini Lokasi Wisata

Yang tidak boleh dilakukan dalam mengatasi trauma

Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap suatu rasa trauma, namun sering kali mereka melakukan hal-hal yang negatif dan tidak menyelesaikan masalah.

Menyalahgunakan alkohol dan obat, serta menghindarkan diri dari rasa trauma, adalah cara kurang sesuai untuk mengatasi PTSD.

1. Menyalahgunakan obat dan alkohol

Dua hal ini mungkin membuat seseorang melupakan masalah dan meningkatkan kepercayaan diri, meski hanya sementara, namun hal tersebut tidak akan membuat pikiran menjadi lebih jernih saat mengalami trauma.

Efek ketergantungan dari obat dan alkohol juga dapat memperburuk keadaan mental sehingga memicu kekerasan, kecelakaan, dan keinginan untuk bunuh diri.

2. Tak mau mengakui trauma

Dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menghindari lingkungan sosial dan menganggap dirinya tidak punya masalah dan tidak memerlukan bantuan terapi.

Menenangkan diri dengan cara menyendiri dan menghindari orang terdekat secara berlebihan bukanlah hal yang tepat, karena akan menjauhkan kita dari dukungan yang mungkin dibutuhkan.

Sama halnya dengan menyembunyikan emosi dan menghindari terapi, karena ini tidak akan menyelesaikan trauma yang dapat kembali sewaktu-waktu meskipun kita menganggap semua baik-baik saja.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bagaimana Menyembuhkan Diri dari Trauma".

Baca Juga: Dari Unit 731 Hingga Pawai Kematian Baatan, 5 Fakta Kekejaman Jepang Dalam Perang Dunia II