Find Us On Social Media :

Ketika Malaysia Masuk dalam 'Jebakan' China dan Tak Bisa Lepas Lagi

By Tatik Ariyani, Senin, 22 April 2019 | 10:30 WIB

 

Intisari-Online.com - Malaysia telah terperangkap dalam 'jebakan' China dan tidak ada jalan keluar baginya.

Hal terbaik yang bisa dilakukan Malaysia adalah dengan membawa China ke dalam perundingan dan mencoba untuk mendapatkan penawaran yang lebih baik untuk proyek yang sedang berjalan.

Pada hari-hari awal pemilihannya, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan kepada China tentang keinginan dan tekadnya untuk menentukan nasib Malaysia di tangan bangsanya sendiri dengan cara membatalkan proyek-proyek China yang telah disepakati sebelumnya.

Saat itu, Mahathir ingin menghindari perangkap utang China.

Baca Juga : Ternyata Ini Alasan Mahathir Akhirnya 'Menelan Ludah Sendiri' dengan Setujui Proyek Kereta Cepat

Telah diketahui bahwa hal yang sama juga telah membuat negara lain tidak punya pilihan selain menyerahkan kendali proyek hutang budi tersebut kepada China.

Bahkan, Mahathir juga berpesan kepada Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk menghindari 'perangkap utang' China.

Namun, apa yang dikatakan Mahathir tentang China tersebut tidak bertahan lama.

Saat ini, justru Mahathir kembali merundingkan kerja sama dengan China untuk memangkas biaya proyek investasi yang jatuh kepada kontraktor China.

Baca Juga : Derita Infeksi Saluran Kemih? Coba Hindari 6 Makanan Berikut Ini

Pekan lalu, China sepakat untuk memotong biaya proyek East Coast Rail Link hingga sepertiga.

Minggu ini, kedua negara telah sepakat untuk menghidupkan kembali proyek Bandar Malaysia dengan kontraktor asli - perusahaan patungan antara perusahaan Malaysia Iskandar Waterfront Holdings dan China Railway Engineering Corp (CREC) - dengan beberapa modifikasi.

Seperti pembangunan 10.000 unit rumah yang terjangkau dan penggunaan sumber-sumber lokal.

Lalu, kira-kira apa yang membuat Malaysia mengubah pandangannya terhadap China?

Baca Juga : Catat! Bikin Polisi Tidur Tidak Boleh Sembarangan Atau Bisa Kena Denda Hingga Rp24 Juta

Diwartakan Forbes pada Sabtu (20/4/2019), salah satunya adalah ada banyak biaya 'tenggelam' untuk proyek yang sedang berjalan.

Hal itu membuat akan sulit untuk Malaysia menemukan sumber pembiayaan alternatif untuk melanjutkannya.

 

 

Baca Juga : Pernah Kram Kaki Saat Tidur? Ketahui Penyebab dan Cara Mengatasinya Berikut

Lalu, ada ketergantungan Malaysia pada China untuk ekspornya.

Tahun lalu, China adalah pasar ekspor terbesar untuk Malaysia ($ 42,5 miliar/sekitar Rp597 triliun), diikuti oleh Singapura ($ 35,7 miliar/sekitar Rp530 triliun), dan AS ($ 33,1 miliar/sekitar Rp465 triliun).

Itu memberi China pengaruh besar terhadap perilaku 'irasional' apa pun oleh Malaysia.

Secara kebetulan pula, belakangan ini ekspor Malaysia turun secara tak terduga, turun 5,3 persen setiap tahun ke MYR 66,6 miliar (sekitar Rp225,7 triliun) pada Februari 2019, setelah 3,1% pada Januari dan kehilangan konsensus pasar sebesar 1,4%, menurut Tradingeconomics.com.

Penjualan turun untuk produk berbasis minyak kelapa sawit dan minyak sawit (-13,4% menjadi MYR 4,7 miliar/sekitar Rp15,9 triliun), produk minyak sulingan (-30,9% menjadi MYR 3,6 miliar/sekitar Rp12,2 tirliun); minyak mentah (-21,8% menjadi MYR 1,9 miliar/sekitar Rp6,4 triliun); kayu & produk berbasis kayu (-1,7% menjadi MYR 1,4 miliar/Rp4,7 triliun) dan karet alam (-23,1% hingga MYR 0,2 miliar/Rp677,8 miliar).

Sementara itu, keputusan Mahathir untuk menghidupkan kembali Iskandar Waterfront Holdings dan China Railway Engineering Corp (CREC) datang beberapa jam setelah dia mengawasi penandatanganan perjanjian pertukaran mata uang dan rencana untuk meningkatkan impor durian dan minyak kelapa sawit beku Malaysia.

Baca Juga : Agar Tak Dehidrasi Saat Puasa, Ini Aturan Minum yang Patut Diikuti