Find Us On Social Media :

Hari Musik Nasional: W.R. Supratman, Pahlawan dengan Masa Kecil yang Murung, Kurus, dan Kudisan

By Ade Sulaeman, Jumat, 9 Maret 2018 | 16:00 WIB

Dengan uang hasil menjual mesin ketik dan barang berharga miliknya, ia diantar Salamah tetirah ke Cimahi, di rumah orang tuanya. Merasa, agak sembuh, ia memaksa diri pergi menemui Salamah di Kampung Sawah, Jakarta. Namun, wanita yang dicintainya pergi tanpa pesan setelah menjual rumahnya. Gagal menemui Salamah, ia kembali Cimahi. Tahun 1936, meski kesehatannya pulih, ia mohon berhenti dari Sin Po.

Merasa dibuntuti PID, W.R. Supratman mengungsi ke Pemalang, Jawa Tengah, ke rumah R. Menang Kusnendar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah. Tahun 1937 ia pindah ke Jl. Mangga 21, Surabaya, ikut Rukiyem Supratinah (Ny. W.M. van Eldik). Di Surabaya ia berkenalan dengan Dr. Sutomo, pendiri Indonesische Studieclub. Oleh Dr. Sutomo, selaku ketua Parindra (Partai Indonesia Raya), W.R. Supratman diminta mengisi program pendidikan politik Parindra,  tapi ia menolak. Kemudian ia menyumbang Parindra dengan himne Parindra dan himne Surya Wirawan (bagian organisasi  pemuda Parindra). Dalam Kongres Pertama Parindra Mei 1937, kedua lagu tersebut dinyatakan sebagai lagu resmi Parindra dan Surya Wirawan.

Tanggal 7 Agustus 1938 Minggu, pukul 17.00, W.R. Supratman  ditangkap dua anggota PID ketika memimpin para pandu KBI menyanyikan lagu Matahari Terbit, di ruang pemancar radio NIROM (kini RRI). Pihak PID menuduh lagu tersebut untuk mengelu-elukan tentara Jepang yang mulai mengancam kekuasaan imperialisme Belanda di kawasan Asia Tenggara. Setelah ditahan beberapa lama, ia  dibebaskan karena PID tak menemukan bukti.

Beberapa hari selepas dari tahanan ia jatuh sakit. Dalam kondisinya yang parah, kepada sahabatnya Imam Supardi (pemimpin redaksi Majalah Penebar Semangat); W.R. Supratman sempat mengeluh,  "Mas, saya ini manusia yang bernasib malang. Saya tidak merasa bahagia-dalam percintaan."

Akhir tahun 1926, Mujenah, gadis Pejambon yang ditaksirnya, dijodohkan orang tuanya. Hubungannya dengan janda kembang Salamah pun tidak disetujui saudara-saudaranya. Belakangan istrinya malah pergi meninggalkannya tanpa pamit.

Minggu, 14 Agustus 1938, ia mengeluh badannya lemas. Sehari kemudian ia tak kuat bangkit dari ranjang. Makan disuapi. Buang air pun mesti dibantu dengan menadahkan pispot. Kepada Urip Kasansengari (kakak iparnya, juga tokoh Surya Wiiawan), ia sempat bicara lirih, "Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia - Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin, Indonesia pasti merdeka."

Tanggal 17 Agustus 1938, sekitar pukul 22.30, ia mengigau, dan sekujur tubuhnya panas, dan menjelang pukul 24.00 ia tak sadarkan diri. Mata terpejam, denyut nadi melemah, napas tersendat-sendat, dan tubuhnya dingin. Sambil menangis, Ny. Van Eldik menggosokkan minyak kayu putih ke sekujur tubuh adiknya. Lewat tengah malam (memasuki hari Kamis, tanggal 18 Agustus 1938), W.R. Supratman meninggal di usia 35 tahun.

Kamis, 18.Agustus 1938, jenazahnya dikebumikan di Kuburan Umum Kapas di Jl. Kenjeran Surabaya. Sanak-saudara dan beberapa sahabatnya hadir melayat. Tanggal 31 Maret 1956, kerangka jenazahnya dipindahkan ke makam Tambak Segaran Wetan, Surabaya.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No..016/T.K./1971, almarhum W.R. Supratman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Gelar Bintang Maha Putra Utama kelas III juga diperolehnya. Semua itu berkat biolanya, yang kini tersimpan di Museum Gedung Pemuda, Jl. Kramat Raya 106, Jakarta.

(Baca juga: Bukannya Bikin Ngeri, 'Mayat' dalam Selokan Hitam Penuh Sampah Ini Malah Bikin Orang Tertawa)