Find Us On Social Media :

Hari Musik Nasional: W.R. Supratman, Pahlawan dengan Masa Kecil yang Murung, Kurus, dan Kudisan

By Ade Sulaeman, Jumat, 9 Maret 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – la lebih dikenal sebagai komponis ketimbang guru, wartawan, atau pengarang. Meski sempat bimbang, akhirnya ia memilih menjadi wartawan sekaligus pencipta lagu perjuangan.

Gara-gara lagu yang digubahnya, penjajah membenci dan menahannya. Namun berkat biolanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Hingga saat ini tempat lahirnya masih teka-teki. Sebuah sumber mencatat Mesteer Cornells (kini Jatinegara, Jakarta), sementara yang lain menyebut Desa Somongari sebagai tempat kelahiran pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu.

“Masyarakat Somongari tahunya W.R. Supratman ya lahir di sini," tutur Sastro Supardi (62), carik alias sekretaris Desa Somongari. Di rumah Soprono, kakak kandung Senen (ibu kandung Wage), Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah.

(Baca juga: Terkenal Sebagai Pasukan Khusus Kelas Dunia, Navy SEAL Ternyata Babak Belur Oleh Viet Cong)

Menurut cerita sesepuh Somongari, lanjut Supardi, Pak Wage (demikian warga Somongari menyebutnya, Red.), lahir hari Senin, 9 Maret 1903.

Namun belum genap usia dua bulan, bayi Wage yang lahir pada hari pasaran Jawa, Wage, diboyong ke Jatinegara.

Di sana, sang ayah, Sersan Djoemeno Senen Sastrosoehardjo sebagai instruktur Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) membuatkan keterangan kelahiran (geboorteacte) Wage dengan nama tambahan Supratman. Wage Supratman resmi menjadi warga tangsi Meester Cornelis.

Sebagai anak laki-laki dari 6 bersaudara - 2 orang saudaranya lagi meninggal - ia amat disayang dan cenderung dimanja ibunya. Bahkan masih menetek hingga uniur 5 tahun, saat masih TK (Frobelschool).

Terlalu dilarang ini-itu, Wage kecil mulai bandel, mogok sekolah kalau tidak diantar-jemput Rukiyem Supratiyah, kakak sulungnya.

Ketika ayahnya pensiun (1910), Wage yang masih menjadi murid SD Budi Utomo, terpaksa ikut boyongan ke Waning Contong, Cimahi, Jawa Barat.

Di tempat baru, bekas anak kolong ini suka ngelayap, dan sering pulang menjelang malam. Saat ibunya meninggal karena sakit, tahun 1912, ia pun tidak di rumah.