Intisari-Online.com - Setiap Oktober, Ferdie Even Edomeko selalu teringat kenangan unik pada 1975, saat masih duduk di kelas II SD Magepanda, Sikka, Flores.
Hari itu hari peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober.
Ketika petugas upacara membacakan teks Sumpah Pemuda untuk diikuti semua peserta upacara, sebagian hadirin, terutama murid SD, tidak mau mengucapkan teks itu.
Ferdie dan teman-temannya tetap diam saja meski dimarahi guru.
(Baca juga: 5 Kisah Unik di Balik Sumpah Pemuda, saat Sekat-sekat Kedaerahan Mulai Dikikis)
Ferdie sebagai komandan regu dipanggil guru ke kelas
“Kamu dan kawan-kawanmu belum hafal teks Sumpah Pemuda dan tidak bisa mengikuti orang yang membaca di depan tadi?” tanya si guru dengan geram.
“Hafal, Pak” jawab Ferdie.
“Lalu, kenapa tidak mengucapkannya?” tanya pak guru lagi, sembari mendekat dengan tangan siap menghajar Ferdie dan kawan-kawannya di kelas.
“Sumpah itu pertama berbunyi Kami putra-putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia. Padahal, kami baru datang dari kampung dan baru sekolah satu tahun. Jadi, belum bisa bahasa Indonesia, Pak. Juga, katanya kita ini bertanah air satu, tanah air Indonesia. Padahal, tanah di desa ini tidak hanya satu. Belum lagi ada tanah Jawa, Sumatera, dll. Sungainya pun banyak. Maka tanah dan airnya banyak. Jadi, kami takut melanggar sumpah. Kami takut mati gara-gara Sumpah Pemuda, Pak!” jelas Ferdie didukung kawan-kawannya.
Pak Guru tertawa keras, tidak jadi marah lalu menjelaskan, kalau tidak bisa melaksanakan sumpah itu, kami tidak akan mati.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR