Intisari-Online.com – Jika Sumpah Pemuda diibaratkan surat kesepakatan unsur-unsur masyarakat Indonesia untuk menjalani tanggung jawab bersama sebagai warga sebuah negara, maka surat itu kini sedang, atau bahkan sudah, dikoyak-koyak oleh kekerasan yang terjadi di antara kita sendiri.
Kekerasan yang tiada hentinya mewabah dan merasuki kehidupan masyarakat.
Mulai hamparan pembunuhan di seputar masa pergantian kekuasaan di tahun 1965, gelombang kejahatan terhadap kemanusiaan di bulan Mei 1998, sampai ledakan bom yang datang silih berganti, membunuh banyak orang tak berdosa.
Termasuk bom terakhir yang meledak di depan Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta.
(Baca juga: 5 Kisah Unik di Balik Sumpah Pemuda, saat Sekat-sekat Kedaerahan Mulai Dikikis)
Yang dimaksud kekerasan bukan hanya yang terekam lewat kekerasan kasar dan terbuka (crude and overt violence), seperti contoh-contoh di atas.
Melainkan juga lewat kekerasan halus dan tertutup (insidious and covert violence), seperti korupsi, diskriminasi gender dan rasial, marjinalisasi, dan stigmatisasi.
Toh kekerasan-kekerasan tadi hanya sebagian dari bentang luas kekerasan yang telah dan masih dialami bangsa Indonesia.
Pengalaman kekerasan bahkan bisa menjelma bak sejarah.
Lihat saja, meski kekerasan itu berulang kali terjadi dan mengoyak persatuan dan kesatuan, kita tetap setia berada dalam ranah yang sama: mengulang kekerasan, tanpa refleksi, tanpa sadar, tanpa moral, tanpa etika, tanpa hukum.
Aneh memang, bagaimana mungkin sebuah masyarakat mengoyak-ngoyak bangsanya sendiri?
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR