Find Us On Social Media :

Hari Musik Nasional: W.R. Supratman, Pahlawan dengan Masa Kecil yang Murung, Kurus, dan Kudisan

By Ade Sulaeman, Jumat, 9 Maret 2018 | 16:00 WIB

Sepeninggal ibunya, Wage, menjadi pemurung, kurus, dan kudisan kedua tangannya.

(Baca juga: ‘Gagalnya’ Sri Sultan Hamengku Buwono IX Jadi Sultan Yogyakarta Pertama yang Pergi Naik Haji)

Kian merana sejak ayahnya menikahi Uyek, janda empat anak, tahun 1914. Sementara Rukiyem Supratiyah yang selalu mendongeng untuknya, diboyong W.M. van Eldik, suaminya, ke Makasar.

Jadi guru sambil nge-band

" Akhir Oktober 1914 teluarga van Eldik menjemputnya untuk tinggal di Kees, kompleks rumah dinas bintara Belanda atau Indo-Belanda, di Makasar.  Di sana, ia melanjutkan kelas tiga di ELS (Europees Lagere School), sekolah khusus sinyo-noni dan keturunan Belanda. Sebelumnya, oleh kakak iparnya Wage diaku sebagai anak dan diberi embel-embel nama berbau londo, Rudolf, supaya diterima di ELS. Beberapa bulan merasakan sekolah Belanda, Wage "Rudolf" Supratman keburu dikeluarkan. Ketahuan ia bukan anak kandung Sersan W.M. van Eldik.

Ia menjadi korban politik diskriminasi pemerintah kolonial. Lalu pindah ke sekolah dasar bumiputra sampai lulus pada usia 14 tahun. Tahun 1919 ia mengantungi ijazah KAE (Klein Ambtenaar Examen). Lulus dari Normaal School; W.R. Supratman menjadi guru bantu (hulp onderwijzer) di sekolah dasar bumiputra di Ujungpandang.

Ketika akan dinaikkan statusnya menjadi guru penuh, dengan syarat dipindah ke Singkang di pedalaman dekat Danau Tempe, ia mengundurkan diri sebagai guru. Selain karena letaknya terpencil, daerah itu juga masih ada perusuh yang menyerang pos-pos polisi.

Dengan bekal ilmu menggesek biola yang diperoleh dari kakak iparnya, tahun 1920 ia menjadi anggota Black – White Jazz Band. Kelompok musik pimpinan van Eldik ini sering tampil di rumah petinggi Belanda, juga di gedung Balai Kota. Dari main band, ia memperoleh honor cukup besar dibandingkan dengan gajinya sebagai guru.

Tahun 1923 W.R. Supratman menjadi juru tulis di kantor dagang Firma Nedem. Lalu pindah kerja di kantor pengacara dengan gaji cukup besar. Tapi musik tetap ditekuninya.

Pintar main musik dan juga berduit, ia menjadi idola noni-noni. Di usia awal 20-an, "Meneer Supratman" - demikian mereka menyebutnya - sering ganti teman kencan. Setiap malam Minggu selesai nge-band, ia pergi berdansa dengan mereka. Tapi tak satu pun gadis betul-betul memikat hatinya.

Berita politik di surat kabar dan ceramah politik H.J.F.M. Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), menggugah minatnya menghadiri rapat, ceramah, dan diskusi berbau politik yang diselenggarakan putra-putri Indonesia. Meski hanya pendengar, keterlibatannya merisaukan keluarga van Eldik. Politieke Inlichtingen Dienst (PID), jawatan polisi rahasia Belanda, selalu mengamati gerak-geriknya. W.R. Supratman merasa gerah dan tak lagi hadir dalam setiap kegiatan politik.