Find Us On Social Media :

Hari Musik Nasional: W.R. Supratman, Pahlawan dengan Masa Kecil yang Murung, Kurus, dan Kudisan

By Ade Sulaeman, Jumat, 9 Maret 2018 | 16:00 WIB

Juli 1924, ia tiba di Surabaya. Tinggal bersama keluarga Kusnandar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah, kakak kandungnya nomor dua. Akhir tahun 1924, ia menuju ke Cimahi, Jawa Barat.

Kegiatan politik terus diikuti lewat surat kabar Bandung, Kaoem Moeda. Ia pun tergelitik untuk melamar sebagai wartawan, dan diterima sebagai wartawan pembantu. Untuk tambahan pemasukan, ia merangkap sebagai violis kelompok jazz band yang tampil tetap di Gedung Societeit Bandung. Honornya dua kali lipat gaji sebulan sebagai wartawan.

Tahun 1925 ia pindah ke Surat Kabar Kaoem Kita, juga terbit di Bandung, sebagai pemimpin redaksi. Namun gajinya belum juga memenuhi keperluan hidupnya. Ia lantas merangkap menjadi pembantu kantor berita PAIT (Pers Agehtschap India Timur). Celakanya, PAIT tidak sanggup membayar semestinya, bahkan dua bulan gajinya belum dibayar.

Lagu

Untuk kedua kalinya, W.R. Supratman tampil memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biolanya pada November 1928, ketika berlangsung pertemuan pemuda dan mahasiwa di Gedung Komedi (sekarang Gedung Kesenian), di Jl. Kantor Pos. Hadirin berdiri layaknya menghormati lagu kebangsaan.

Atas permintaan sejumlah pemuda dan mahasiswa, notasi dan lirik lagu Indonesia diperbanyak. Sempat pula dimuat dalam edisi mingguan Sin Po bulan November 1928. Menjelang Kongres Kedua PNI di Jakarta, tanggal 18-20 Mei 1929, W.R. Supratman mengubah judul lagu menjadi Indonesia Raja. Lagu dinyanyikan kelompok paduan suara, lantas diikuti segenap hadirin pada pembukaan kongres tersebut. Dalam keputusan kongres, Indonesia Raja diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Ribuan eksemplar pamflet berjudul Indonesia Raja (Lagoe Kebangsaan Indonesia) dicetakkan di percetakan Sin Po, dan dijual dengan harga f0,20 per eksemplar. Di sampul depan, W.R. Supratman tertulis sebagai publicist.

Tahun 1929, lagu Indonesia Raya sempat dipiringhitamkan oleh Firma Tio Tek Hong di Pasar Baru, Jakarta. Tahun 1930, Yo Kim Can konon juga merekam gesekan biola W.R. Supratman yang melantunkan Indonesia Raya dalam piringan hitam. Di mana rekaman itu disimpan, tak jelas. Sementara di Museum Sumpah Pemuda, Jl. Krgmat Raya 106, tersimpan dua buah piringan hitam, namun belum  diketahui isi rekamannya.

Tak hanya populer di kalangan pandu, lagu Indonesia Raya kian sering dikumandangkan di seluruh Nusantara. Kepopulerannya membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan melarang lagu tersebut dinyanyikan. Karena para pemuda tidak setuju, Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.C.D de Giaeff mengeluarkan edaran yang menyatakan bahwa Indonesia Raya tidak dapat dianggap sebagai lagu kebangsaan, melainkan hanya lagu perkumpulan biasa.  

Beberapa lagu menyusul digubahnya, a.l. Indonesia, Hai Ibuku (Jakarta, 1928), Bendera Kita (Jakarta, 1928), Raden Ajeng Kartini atau Ibu Kita Kartini (Jakarta, 1929), Pandoe Indonesia atau himne KBI (Jakarta, 1930), Di Timur Matahari (Jakarta, 1931), Bangunlah Hai Kawan (Jakarta, 1931), himne Parindra dan himne Surya Wirawan (Surabaya, 1937), dan Matahari Terbit (Surabaya, 1938).

Ditangkap dan ditahan PID

September 1933, WR. Supratman mulai sering demam dan sakit bagian dadanya. Tidak jelas penyakit apa, tumor, radang paru-paru, atau TBC. November 1933 kesehatannya kian memburuk. Tugas meliput Kongres Keempat Indonesia Muda di Semarang, akhir Desernber 1933, tak bisa diembannya.,