Find Us On Social Media :

Dari Tuyul Hingga Babi Ngepet, Inilah Makhluk-makhluk Gaib ‘Pencuri’ Harta dari Tanah Indonesia

By Ade Sulaeman, Selasa, 13 Februari 2018 | 15:00 WIB

Intisari-Online.com – Bahwa orang yang percaya tuyul masih gentayangan terbukti lagi baru-baru ini.

Harta seorang petani kaya Jawa Tengah diamuk massa, karena dianggap menyebabkan kematian bayi-bayi.

Beberapa ahli telah menyelidiki kepercayaan itu, termasuk Sejarawan Onghokham.

Pertengahan bulan Mei yang lalu Wiryasin, penduduk Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, mengalami nasib sial.

(Baca juga: Mewahnya Pesta Pernikahan 10 Hari 10 Malam Anak Raja Tambang Batu Bara Kalimantan Ini! Mobil Pengantinnya Saja Seharga Belasan Miliar!)

Tak kurang dari 70 orang warga desa yang sama mengamuk dan merusak rumah serta kebunnya di mana ia menanam jeruk, cengkeh, kelapa dan pisang.

Soalnya, petani tua berusia 60 tahun ini dituduh nyupang, meminta bantuan setan dalam mengumpulkan kekayaan dengan imbalan nyawa manusia.

Peristiwa penyerbuan ini bermula ketika 11 anak balita di desa itu mendadak sakit dan meninggal. Orang-orang percaya bahwa mereka telah menjadi tumbal keluarga Wiryasin dalam mengumpulkan harta (Suara Merdeka, 17 Mei 1986).

Nasib Wiryasin masih lumayan ketimbang suami-istri Kasmin dan Rasih dari Desa Sidamulya, Kecamatan Bongas, Indramayu.

Seperti yang dilaporkan Majalah Tempo (3 September 1983), mereka juga menjadi korban tuduhan serupa, yakni berpakta pada kuntilanak agar bisa jadi kaya.

Akibatnya, suami-istri berusia 55 dan 40 tahun ini dikeroyok massa sampai mati di tempat.

Banyaknya bayi yang meninggal di tahun 1983 itu, dan juga dalam tahun sebelumnya, diyakini orang sebagai akibat adanya imbalan yang harus dipenuhi Kasmin dan Rasih pada kuntilanak "peliharaan" mereka.

Tuduhan mengumpulkan kekayaan dengan cara tak wajar dengan bantuan makhluk-makhluk gaib tidak hanya menimpa orang desa seperti Wiryasin atau Kasmin saja.

(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)

Mungkin Anda masih ingat, di tahun 1979 yang lalu di Jakarta ada "sas-sus" santer mengenai sebuah restoran terkenal.

Konon, restoran itu sangat laris karena pemiliknya telah mencari "pesugihan".

Salah satu syarat yang harus dipenuhinya agar bakmi yang dijualnya laku adalah membuat kaldu kuah bakmi dari bayi yang telah meninggal dunia.

Meski kemudian popularitasnya menanjak kembali, restoran itu sempat sepi dari pengunjung untuk beberapa waktu.

Babi, monyet atau ular

Di Indonesia," khususnya di tanah Jawa, kepercayaan bahwa manusia bisa mencari kekayaan dengan bantuan makhluk-makhluk gaib bukanlah barang baru.

Di berbagai daerah kita bisa mendengar adanya kepercayaan pada tuyul, setan gundul, Nyai Blorong, Rajha Komantan, Putri Babi, babi ngepet, nyegik, ngetek, ngipri, ngecit, popok wewe dan lain sebagainya.

Tuyul dan setan gundul, yang di beberapa tempat juga disebut bujang angkruk atau intbuk, adalah hantu-hantu yang berbentuk seperti anak kecil berumur satu atau dua tahun dan bisa mencuri uang atau barang milik orang lain untuk tuannya.

Hantu-hantu ini biasanya harus dipelihara oleh kaum wanita, karena mereka gemar disusui sebagaimana lazimnya anak kecil. Menyusui mereka konon, menimbulkan rasa nyeri yang sangat.

Nyai Blorong sering digambarkan mirip ikan duyung dalam dongeng.

Orang bisa mengikat kontrak dengannya dan diberi segala kekayaan yang diinginkan, tapi setelah itu ia harus mau menjadi milik Nyai Blorong.

Ia akan dijadikan bagian dan lstananya di Laut Selatan, yang seluruhnya dibangun dari tubuh para korbannya.

Seperti Nyai Blorong, Putri Babi juga sejenis makhluk halus yang selalu bersedia memberi kekayaan pada orang yang meminta pertolongannya.

Namun mereka yang dijadikan kaya olehnya kelak akan berubah menjadi seekor babi dan harus mau menjadi hamba sahayanya.

Di Jakarta dan sekitarnya sampai hari ini masih hidup kepercayaan akan adanya babi ngepet.

Yang disebut orang ngepet adalah orang yang bisa berubah menjadi babi jadi-jadian dan kemudian mencuri uang atau barang di rumah-rumah orang lain.

Nyegik, ngetek dan ngipri adalah istilah-istilah yang dikenal di daerah Priangan. Mereka yang menjadi kaya dengan cara ini kalau sudah meninggal akan berubah menjadi binatang.

Yang nyegik berubah menjadi babi, yang ngetek menjadi monyet dan yang ngipri menjadi ular.

Ada pula kepercayaan lain yang disebut popok wewe dan ngecit. Barang siapa yang bisa menguasai popok wewe (pakaian bayi milik setan perempuan), ia akan menjadi kaya.

Demikian pula mereka yang bisa memiliki kecit, yakni sejenis jangkrik yang bisa mencuri.

Untuk mendapatkan jangkrik ini konon orang harus memiliki terlebih dahulu mayat anak-anak yang meninggal pada malam Jumat kliwon.

Karena itu di beberapa daerah ada kebiasaan menjaga makam anak-anak yang meninggal pada hari pasaran itu.

Terlepas dari persoalan benar atau tidak, kepercayaan-kepercayaan warisan leluhur kita ini kenyataannya sering membuat susah.

Mereka yang berpikiran sederhana jadi tak dapat memahami bahwa orang bisa menjadi kaya atau berhasil tidak hanya melalui ngipri atau ngepet.

Sisa pemikiran primitif

Seorang pamong Desa Pekuncen sendiri tak merasa yakin Wiryasin melakukan nyupang. Ia menjadi kaya semata-mata karena kerja keras, sebab keluarganya termasuk keluarga petani yang ulet dan paling rajin mendengarkan penyuluhan dari Dinas Pertanian setempat.

Banyaknya balita yang meninggal dunia di Desa Sidamulya juga tidak bisa dihubungkan begitu saja dengan tumbal yang harus dibayar Kasmin dan Rasih.

Bidan yang bertugas di Puskesmas Bongas mengatakan, tingginya angka kematian bayi bisa saja terjadi karena para ibu di Sidamulya banyak yang melahirkan dengan bantuan dukun yang peralatannya tidak steril.

Hal yang sama juga berlaku pada restoran bakmi yang kasusnya telah diuraikan di atas. Walau sudah sempat dirugikan, sampai hari ini pemiliknya tetap tidak dapat dibuktikan punya "hubungan gelap" dengan dunia pesugihan.

Namun, mengapa banyak di antara kita yang begitu yakin tentang adanya tuyul, Nyai Blorong, Putri Babi dan makhluk-makhluk sejenis lainnya?

Dr. Onghokham, sejarawan UI yang punya minat khusus dalam soal ini, mengatakan bahwa ini merupakan sisa-sisa pemikiran primitif yang ada pada kita.

Meski sudah hidup dalam abad ke-20, menurutnya, kita masih memendam pemikiran-pemikiran purba yang bisa disejajarkan dengan pemikiran-pemikiran orang Eropa Abad Pertengahan.

Dalam Abad Pertengahan di Eropa juga dikenal cerita-cerita tentang orang-orang yang menjual rohnya kepada setan untuk memperoleh kekayaan.

Biasanya orang-orang semacam ini mengadakan perjanjian dengan iblis agar diberi kekayaan yang melimpah selama hidupnya.

Setelah ia mati rohnya akan diambil oleh sang iblis pemberi kekayaan.

Korban-korban dari keyakinan ini juga banyak berjatuhan. Dalam abad ke-17 di Inggris bukan hal yang aneh kalau ada orang yang dibakar hidup-hidup gara-gara dituduh sebagai ahli sihir yang berkomplot dengan setan.

Jean d'Arc yang kemudian dianggap pahlawan nasional oleh bangsa Prancis dan orang suci oleh gereja Katolik juga mati dibakar karena dianggap telah menjalankan ilmu gaib.

Seperti yang terjadi di Eropa, menurut Ongkokham, kepercayaan seperti ini baru akan lenyap jika rasionalisme berpikir sudah benar-benar berkembang.

Entah kapan hal ini akan terjadi, karena sampai saat ini sebagian besar dari kita, termasuk para ilmiawan, masih meyakininya.

Khusus tentang petani Jawa, Ongkokham dalam tulisannya "Legitimasi Melalui Alam Gaib" (Kompas, 13 November 1985) antara lain berpendapat, kepercayaan seperti ini timbul karena petani Jawa yang tradisional seringkali berusaha menjelaskan sesuatu melalui alam gaib.

Kekuasaan politik raja, misalnya, dijelaskan antara lain sebagai akibat adanya hubungan raja dengan makhluk gaib Nyai Loro Kidul.

Petani Jawa juga percaya bahwa kekayaan yang dimiliki sementara orang, khususnya kaum pedagang, diperoleh dengan bantuan setan, sepeti tuyul atau Nyai Blorong.

Pedagang dianggap sebagai orang yang memiliki kekayaan secara tidak wajar karena diperoleh dari mencuri dengan bantuan makhluk-makhluk gaib yang jahat.

Citra jelek pedagang di mata petani timbul, karena bagi petani, yang selalu hidup pas-pasan, pedagang merupakan golongan yang mengancam eksistensi mereka.

Pedaganglah yang menyebabkan turunnya hasil bumi dan juga naiknya harga berbagai kebutuhan sehari-hari.

Meski hal ini sebenarnya mungkin bukan kesalahan pedagang, namun pedagang tetap menjadi kambing hitam. Soalnya, hanya dengan pedaganglah petani memiliki hubungan ekonomi secara langsung.

Terpojoknya petani oleh kekuasaan ekonomi pedagang, pengijon, atau tuan tanah lokal, menimbulkan perasaan antiakumulasi modal dan perasaan anti orang kaya.

Tuduhan pada orang kaya bahwa mereka memelihara tuyul atau berpakta dengan Nyai Blorong sesungguhnya merupakan perwujudan dari sentimen-sentimen ini.

Tuduhan yang diyakini kebenarannya ini kemudian digunakan untuk mensahkan dilakukannya berbagai bentuk agresi langsung, seperti perusakan harta benda atau pembunuhan, orang kaya yang mereka benci.

Korban orang yang percaya tuyul

Kepercayaan terhadap tuyul, babi ngepet, popok wewe dan sebangsanya juga bisa bersumber pada adanya rasa iri.

Dalam tulisannya "The Anatomy of Envy: A Study in Symbolic Behavior" (Current Antropology April 1972) ahli antropologi George M. Foster mengemukakan teori tentang masyarakat petani yang nampaknya cocok dengan masyarakat kita.

Menurut pendapatnya, masyarakat petani selalu ditandai dengan keadaan ekonomi yang tidak merata di mana ada perbedaan yang menyolok antara orang yang kaya dan yang miskin.

Masyarakat seperti ini merupakan tempat yang subur bagi berkembangnya secara berlebihan rasa iri di antara para warganya, di mana orang yang kaya atau berhasil menjadai objek keirian dari mereka yang miskin atau kurang beruntung.

Rasa iri ini timbul karena adanya pandangan bahwa sumber nafkah dan barang-barang yang ada jumlahnya terbatas dan seyogyanya terbagi rata di antara mereka.

Oleh karena itu jika ada yang memiliki kekayaan lebih dari yang lain, maka berarti ia telah mengambil bagian yang seharusnya menjadi hak orang lain.

Keuntungan yang diperoleh seseorang atau sebuah keluarga selalu merupakan akibat dari dikorbankannya orang-orang lain, dan ini mengganggu keselarasan masyarakat secara keseluruhan. Pendek kata, orang kaya itu adalah pencuri harta mereka yang miskin.

Namun, rasa iri bukanlah suatu hal yang dianggap baik, apalagi mewujudkannya dalam bentuk ucapan atau tindakan. Orang boleh saja menunjukkan rasa marah, tapi memperlihatkan keirian adalah hal yang sangat memalukan.

Jalan lain, karena itu, harus dicari untuk melampiaskan perasaan iri ini.

Gunjingan atau gossip mengenai orang yang kekayaannya menonjol adalah salah satu bentuk agresi untuk melampiaskan rasa iri dalam masyarakat petani.

Isi gunjingan ini dapat saja sama dengan pendapat Ongkokham tentang hubungan antara kekayaan dan alam gaib di atas, yakni bahwa orang kaya memperoleh hartanya secara tidak wajar dengan bantuan setan.

Karena itu Wiryasin, Kasmin, Rasih dan pemilik restoran yang diceritakan pada awal karangan ini boleh jadi sebenarnya bukan orang-orang yang menjadi kaya karena tuyul dan mengorbankan orang lain, tapi malah orang-orang yang menjadi korban orang lain yang percaya tuyul.

(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1986)

(Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)