Advertorial
Intisari-Online.com – Dalam beberapa bentuk seni tradisional Indonesia tak jarang dipertunjukkan atraksi mengerikan. Pelakunya seakan sakti.
Padahal ia sedang kesurupan yang oleh sementara orang dianggap satu bentuk mistik. Kenyataannya tidak.
Prosesnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Bahkan, kesurupan mampu mempercepat proses belajar.
Pertarungan antara Barong dan Rangda itu berlangsung seru. Barong akhirnya tak berdaya menghadapi tokoh jahat berwajah seram musuh bebuyutannya.
Ia pun terempas di tanah.
(Baca juga:Bukan Flakka, Bukan Pula Narkoba, Pil PCC yang Bikin Anak-anak di Kendari ‘Kesurupan’ Ternyata…)
(Baca juga:Misteri Bulan Purnama di Bali: Bencana Alam, Mistik, dan Kecurangan)
Tiba-tiba belasan pria bertelanjang dada berhamburan datang dengan mengacung-acungkan keris. Mimik mereka sangat menakutkan dengan tatapan mata kosong.
Penonton merinding dan ingin segera angkat kaki meninggalkan panggung pertunjukan.
Tapi rasa ingin tahu yang lebih kuat ketimbang rasa takut membuat mereka tetap bertahan, meski degup jantung mereka mulai bertalu keras.
Ritme denyut jantung semakin tak keruan, tatkala Rangda menantang "pasukan" berkeris dengan mengumpankan tubuhnya, penuh keangkuhan.
Amarah kelompok pria berkain kemban dengan corak papan catur itu pun memuncak. Seorang di antara mereka tak sabar untuk segera menghabisi Rangda.
Ditusukkannya keras-keras keris baja di tangannya ke dada tokoh yang juga dijuluki Calonarang itu.
Dengan kekuatan penuh, bertubi-tubi ia menghunjamkan senjata tajam itu hingga membuat tubuh Rangda condong dan nyaris terempas ke belakang.
Tapi mata keris yang begitu tajam tak mampu menembus kulit Rangda. Si penikam pun semakin ngotot menikamkan kerisnya.
Anehnya, tubuh Rangda yang kini ditahan dua orang dari belakang itu malah menyebabkan keris jadi bengkok.
Bahkan, kini ia yang berbalik mengempaskan si penikam hingga terpelanting ke belakang.
Penonton wanita nyaris berteriak kencang-kencang. Tapi masih tertahan. Hanya
(Baca juga:Ternyata, Banyak Kepercayaan Mistik yang Selalu Mewarnai Tugas Dan Operasional TNI)
(Baca juga:Batu Akik Mineral Silika yang Dililit Mistik: Akik Imitasi dari Plastik)
kedua telapak tangan mereka seakan terkunci menutup bibir yang menganga.
Dengan mata tiga perempat terpejam, mereka masih bisa melihat adegan berikutnya.
Kawanan pria bersenjata keris semakin kalap. Penikaman terhadap tubuh Rangda kini semakin tak terkendali. Perut, dada, dan leher tak luput dari tusukan keris.
Bahkan, ketika Calonarang rubuh telentang langsung saja keris ditikamkan tegak lurus ke perutnya.
Pertarungan berlangsung terus sampai tak satu pun jadi pemenang. Semua terkapar tak sadarkan diri.
Mereka baru siuman setelah seorang "sutradara" sendratari itu memberi percikan tirta sambil komat-kamit melantunkan mantera.
Rasa takut campur ngeri penonton dalam sekejap sirna, malah suara tepuk tangan serentak membahana.
Pertunjukan tektekan lakon Calonarang di Karambitan, Tabanan, Bali, usai tanpa pertumpahan darah. Cuma keris-keris bengkok dan rasa heran yang tersisa.
Bisa ditebak, yang mereka herankan dari pertunjukan seperti itu pasti kebalnya si penari dari tikaman keris tajam.
Ternyata rasa kebal itu muncul menyusul keadaan trance (kesurupan) yang dialami penari.
Kesurupan itu sendiri seakan tak terpisahkan dengan kebanyakan tari atau dramatari yang sebenarnya bukan cuma di Bali.
Ada daerah lain yang keseniannya juga mempertontonkan atraksi yang dimainkan oleh pemain atau penari yang sedang kesurupan.
Sebut saja debus di Banten, Aceh, Sumut, dan Sumbar. Atau kuda kepang yang di Banyumas disebut jaran ebleg, di Boyolali populer dengan nama jlantur, di Jabar terkenal dengan julukan kuda lumping, dan di Jatim punya nama panggilan jaran dor.
(Baca juga:Wow, Inilah Hutan Hallerbos yang Mistis Sekaligus Indah Seperti dalam Negeri Dongeng)
(Baca juga:Di Tengah Laut, Secara Mistis, Sultan HB IX ‘Meramal’ Akan Terjadinya Bencana G30S)
Ada sejak bayi
Pertunjukan seram di kedua bentuk kesenian daerah itu masih berkisar pada adu kuat antara tubuh manusia dengan benda tajam.
Pada debus umpamanya, orang pastilah merinding saat menonton pemain menyayat lidah, manor air mendidih, berguling di atas duri, dipukul dengan gada, memanjat tangga golok tajam, atau menginjak pecahan kaca.
Sedangkan pada kuda kepang, pemain mempertontonkan "kesaktiannya" dengan mengunyah atau menelan kaca bola lampu, makan pisau silet, atau dipecut dengan keras.
Semua pemain adegan seram itu saat beratraksi selalu dalam keadaan kesurupan, yang oleh sebagian orang diartikan sebagai "kemasukan setan".
Hubungan antara trance yang dialami pemain dengan kemampuannya yang di luar ukuran orang normal ini ternyata bisa diterangkan secara ilmiah.
Dr. Luh Ketut Suryani—ketika diwawanca Intisari tahun 1992 berusia 48 tahun dan berpangkat kepala bidang Laboratorium Psikiatri Universitas Udayana, Bali—menyatakan, trance pada galibnya suatu perubahan keadaan kesadaran manusia yang meliputi perubahan kognisi, persepsi, dan sensasi.
Dengan perubahan itu, seseorang akan memiliki kemampuan di luar kebiasaan manusia normal.
Pada prinsipnya semua manusia memiliki bibit untuk bisa mengalami trance. Contoh paling mendasar, bayi tiba-tiba tertawa atau menangis.
Menurut Suryani, ini vmuncul karena adanya indera keenam yang memungkinkan dia memiliki kemampuan trance.
(Baca juga:Sedih, Seekor Monyet Kecil Ini Pingsan Gara-gara Hirup Kopi yang Ia Curi)
Dengan kemampuan itu, dia bisa mengirim perasaan ke ibunya yang jauh dari tempatnya. Inilah kemampuan lebih yang dimilikinya.
Pada umur sekitar 10 tahun logika mulai masuk. Sejak itu kehidupan sehari-hari cenderung mengajarkan penggunaan logika. Penggunaan insting mulai ditinggalkan.
Dengan sendirinya insting yang sebenarnya adalah kemampuan trance itu, lama-kelamaan menjadi tumpul karena tak pernah digunakan.
Padahal, "Kalau bibit kemampuan trance itu terus ditumbuhkan, diajari meditasi sejak kecil, sementara logika tetap dijalankan, mungkin kita akan menjadi manusia yang seimbang," ujarnya.