Advertorial
Intisari-Online.com - Hingga saat ini militer Israel masih kalang kabut dengan serangan roket yang diluncurkan para pejuang Hizbullah dari arah Lebanon.
Israel sebenarnya menganggap roket-roket milik Hamas dan Hizbullah sebagai ‘’rudal bodoh’’ karena ketika diluncurkan tanpa menggunakan sistem pemandu sehingga bisa menghantam apa saja.
Karena tanpa sistem pemandu itulah roket-roket yang diluncurkan dalam jumlah besar malah sulit ditangkis dan membuat miiter Israel kalang kabut.
Katyusha. Nama inilah yang jadi pembicaraan paling hangat selama konflik Israel -Hizbullah dan Hamas berlangsung.
(Baca juga: Bermaksud Hancurkan Hizbullah, Pasukan Elit Israel Ini Malah Dihajar Habis-habisan Gaga-gara Ini)
Maklum saja, sejumlah kota-kota di Israel tanpa ampun mendapat gempuran roket-roket buatan Soviet itu.
Selama pertempuran pada tahun 2006 sedikitnya ada 3.970 roket Katyusha diluncurkan Hizbullah.
Sementara total jumlah roket dan rudal permukaan-permukaan yang dimiliki diperkirakan mencapai 13.000 hingga 14.000 unit.
Sejumlah media Barat yang bingung dengan jenis roket Hizbullah kerap menyebut Katyusha sebagai rudal.
Bisa jadi sebutan itu keliru. Pasalnya jika disimak lebih teliti, Katyusha tak lain roket artileri berpeluncur multi.
Artinya untuk menghatam targetnya, setiap unit Katyusha tak dibekali sistem pemandu (unguided).
Seperti juga meriam artileri, satu-satunya pegangan agar roket bisa akurat menghantam sasaran berasal dari koordinat target yang dipasok pasukan pegintai di garis depan.
Kelebihan dari Katyusha dibading meriam terletak pada kemampuannya menciptakan efek hantaman untuk satu area yang lebih dahsyat dalam tempo singkat.
Nama Katyusha mulai berkibar sejak zaman PD II.
Kala itu pasukan Soviet memakainya untuk mengganjal gerak maju balatentara Nazi Jerman.
Generasi pertama Katyusha muncul dengan kode BM-13 (kaliber 132 mm), varian ringan BM-8 (kaliber 82mm) dan roket berat BM-31 (kaliber 310mm).
Ciri khas dari arsenal ini yang tetap dipertahankan hingga sekarang terletak pada pengaplikasian truk sebagai platform pengangkut sekaligus peluncur.
Trik macam ini sekaligus menyulap Katyusha menjadi senjata bermobiltas tinggi.
Dalam konflik denga Israel Hizbullah mengoperasikan tiga tipe roket yang bisa diklasifikasikan sebagai Katyusha.
Masing-masing BM-21 kaliber 22 mm, MB-27 kaliber 220 mm dan Fair-3 kaliber 230 mm.
Dua tipe pertama yang disebutkan merupakan varian asli Soviet. Semetara Fajr tak lain merupakan Katyusha generasi ketiga buatan Iran.
(Baca juga: Yasser Arafat, Pejuang Palestina yang Legendaris dan Pernah Memukul Mundur Pasukan Israel)
Ada satu taktik spesial yang dilakukan Hizbullah dengan Katyusha.
Dalam setiap aksinya mereka tak pernah menggelar dalam bentuk utuh.
Beberapa baris tabung dilolosi dan kemudian mencopotnya dari platform asli.
Alhasil dengan sosok lebih ringkas ketimbang baranng aslinya, arsenal ini bisa dengan mudah disembunyikan atau dipotong menuju lokasi peluncuran baru.
Sudah bukan rahasia lagi kalau sejumlah roket buatan Iran juga turut meramaikan konflik Hizbullah-Israel.
Fajr-3, Ra’ad 1 (Shahin 1), Fajr-5, Fateh 110 hingga roket pamungkas Zetzal-2 adalah deretan nama arsenal yang ditengarai telah dipasok oleh Teheran.
Keragaman jenis roket ini otomatis mendongkrak jarak jangkau serangan.
Sebagai gambaran untuk jarak jangkau hingga 30 km, Hizbullah mengandalkan varian BM-21 dan Raad-1.
Untuk yang disebutkan terakhir memakai sistem pelontar tunggal serta jarak jangkauannya hanya sekitar 13 kilometer saja.
Satu-satunya kelebihan terletak pada efek kehancuran yang dihasilkan terbilang dahsyat.
Sebagai perbandingan, bila sebuah roket BM-12 hanya mampu mengusung hulu ledak berobot 21 kg saja maka pada Raad 1 daya angkutnya bisa mencapai 190 kg.
Agar lebih mematikan selama konflik Hizbullah juga melengkapi roketnya dengan serpihan-serpihan metal.
Beranjak ke jarak di atas 40-100 km, Hizbullah punya M-27 dan Fajr-5.
Dalam pertempuran yang terjadi di awal Agustus 2006 Hizbullah menghujani kota-kota Israel seperti Beit Shean, Hadera dan Haifa dengan roket Fajr.
Ketiganya berjarak sekitar 70 km dari perbatasan Libanon.
Sebenarnya masih , ada lagi roket Hizbullah yang benar-benar membuat khawatir para petinggi militer Israel, yakni Zelzal-2 dan Fateh 110.
Dua jenis roket ini memiliki jarak jangkau antara 100 hingga 200 km, dan merupakan senjata pemungkas untuk menyerang Tel-Aviv.
Jika Zelzal-2 dan Fateh 110 sampai digunakan oleh Hizbullah terkait kisruh pemindahan ibukota Israel ke Yerusalem bisa dipastikan militer Israel makin dibuat kalang-kabut.
(Baca juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
Bermaksud kalahkan Hizbullah, pasukan elite Israel justru kocar-kacir
Dalam peperangan sebenarnya tidak bisa berlaku bahwa pasukan yang bisanya dikenal tangguh dalam bertempur akan selalu menang.
Pasuka khusus sekalipun jika misi tempurnya yang bersifat rahasia berhasil diketahui oleh musuh bisa berakibatnya pada gagalnya misi dan hancurnya pasukan seperti yang pernah dialami oleh pasukan Israel.
Kegagalan operasi tempur pasukan Israel bahkan pernah dialami oleh pasukan komandonya yang terkenal sangat elit.
Pada 4 September 1997 suatu serangan komando yang digelar pasukan Angkatan Laut Israel, mengalami kegagalan ketika sedang berusaha menyerang basis maritim Hizbullah yang berlokasi di kawasan Ansariyya.
Satuan elit komando itu mengalami nasib nahas setelah disergap pasukan Hizbullah sehingga mengakibatkan tewasnya 11 prajurit komando.
Pasukan komando Israel yang sebenarnya telah dipersiapkan melalui latihan berat itu gagal melaksanakan misinya karena kepergok terlebih dahulu oleh pasukan Hizbullah.
Para pejuang Hizbullah pun segera menyiapkan jebakan untuk menyergap pasukan komando Israel.
Akibatnya pasukan komando Israel yang bermaksud menyergap para pejuang Hizbullah malah disergap terlebih dahulu.
Sisa pasukan komando Israel hanya bisa bertahan dalam pertempuran sengit yang tida seimbang.
Karena makin terdesak pasukan komando Israel kemudian berusaha dievakuasi menggunakan helikopter tapi operasi SAR tempur (Combat SAR) itu tidak berjalan lancar.
Sejumlah jenasah pasukan komando Israel berhasil dikuasi pejuang Hizbullah dan dijadikan sarana tawar-menawar pertukaran jenasah antara kedua belah pihak.
Proses tawar tukar-menukar jenasah itu ternyata berlangsung selama 10 bulan setelah pihak Israel bersedia menyerahkan 40 jenasah pejuang Hizbullah.
Akibat serangan militer yang kerap gagal menghancurkan kekuatan Hizbullah, pamor keberadaan pejuang Hizbullah di Libanon Selatan pun makin bersinar.
Milisi SLA (South Lebanon Army) yang menyadari naik pamornya Hizbullah pelan-pelan mulai menarik diri dari hubungan dekatnya dengan militer Israel, sehingga para pejuang Hizbullah makin leluasa untuk melancarkan serangan ke Israel.
Salah satu serangan spekatkuler Hizbullah yang mengakibatkan seorang jenderal Israel gugur berlangsung pada bulan Februari 1999.
Akibat serangan mematikan itu militer Israel pun ditarik dari zona penyangga keamanan Libanon Selatan.
Setelah penarikan mundur pasukan itu, militer Israel lalu memperkuat penjagaan di perbatasan Libanon-Israel.
Penarikan mundur pasukan Israel dari Libanon Selatan secara politik merupakan kemenangan bagi pejuang Hizbullah dan para pejuang Palestina yang dikenal sebagai kelompok Hamas.
Dengan modal rasa percaya diri atas keberhasilan mengusir militer Isarel yang sudah 18 tahun bercokol di Libanon Selatan, para pejuang Hizbullah dan Hamas Palestina pun menjadi semakin berani untuk menyerang Israel.
Roket-roket Hizbullah pun terus berjatuhan ke wilayah Israel.
Serangan melalui darat juga kerap dilakukan terhadap Israel dan makin sering menimbulkan korban jiwa.