Ditambah bunga, utang Esti mencapai Rp40 juta, jumlah yang baru bisa dibayar Esti setidaknya selama setahun dari menyisihkan gaji.
Selain membayar utang ke makelar asal Indonesia, Esti juga harus membayar biaya bulanan dan pungutan liar kepada makelar Taiwan.
Perasaan malu juga membuat Esti tidak menceritakan derita yang dia alami kepada siapa pun, termasuk keluarganya.
"Di kampung halaman orang-orang berpikir bahwa perempuan yang telah diperkosa itu kotor. Saya merasa malu dan kotor. Saya khawatir orang-orang akan memandang saya dengan rendah. Saya tidak ingin bercerita kepada siapa pun. Bahkan hingga kini saya tidak bercerita kepada ibu saya karena dia akan sangat sedih jika tahu," kata Esti.
Esti mengaku tiada seorang pun yang curiga dengan adik majikannya.
(Baca juga: Negara Ini Bakal Menjadi Negara Pertama di Asia yang Melegalkan Perkawinan Sesama Jenis)
"Dia berpura-pura tidak mengenal saya ketika ada orang lain di sekitar," ujarnya.
Esti jarang berinteraksi dengan orang lain, meskipun dia bekerja di sebuah restoran yang padat pengunjung.
"Jam kerja saya sangat lama. Saya mulai bekerja pukul 06.00 untuk menyiapkan makanan bagi pengunjung dan bersih-bersih sampai pukul 22.00 atau 23.00.
“Pada akhir pekan, bisa lebih lama. Saya tidak bisa bicara kepada siapapun saat bekerja, majikan ingin saya terus bekerja. Selama 16 bulan saya bekerja di sana, saya hanya punya satu hari libur pada Hari Raya Imlek. Saya harus bekerja bahkan ketika saya sakit," papar Esti.
Pemerintah Taiwan tidak memastikan para pekerja migran mendapat waktu libur secara rutin atau meninjau kesejahteraan mereka. Urusan semacam itu diserahkan kepada makelar penyalur kerja, yang hanya peduli pada kepentingan majikan.
Sejumlah kelompok pelindung hak asasi manusia mengatakan peristiwa yang menimpa Esti bukan satu-satunya kasus yang terjadi di Taiwan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR