Intisari-Online.com -Nama Imamatul Maisaroh telah menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Perempuan asal Malang yang pernah menjadi TKI yang kini menjadi staf khusus Presedi Amerika Serikat Barack Obama baru saja berpidato di panggung konvensi Partai Demokrat, Selasa (26/7) lalu. Ia mengaku bahagia bisa mendukung Hillary Clinton menjadi calon presiden AS.
Jalan Ima—panggilan perempuan asal Desa Kanigoro, Kecamatan Krajan, Kabupaten Malang—menjadi setenar sekarang terbilang mengharukan. Selama tiga tahun bekerja sebagai TKI, Ima selalu mendapatkan siksaan dari majikannya. Lebih menyedihkan, gajinya selama bekerja pun tak kunjung dibayar.
Nasib baik menghampirinya ketika ia berkenalan dengan Barack Obama. Ia pun direkrup menjadi staf ahli Presiden yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia itu. Ima dipercaya memegang sejumlah program Presiden.
Dan pada malam Konvensi Nasional Partai Demokrat yang digelar di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 26 Juli 2016, Ima berhasil memukau ribuan penontong yang hadir malam itu.
Sweet seventeen yang tidak sweet
Kisah tragis Ima bermila pada 1997, ketika berusia 17 tahun. Sweet seventeen yang sama sekali tidak sweet.
Waktu ia menerima tawaran bekerja sebagai pramuwisma untuk seorang pengusaha interior desainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles. “Sejak sampai di Bandara LAX, paspor saya sudah ditahan oleh majikan saya,” tutur Ima, dikutip dari Indonesianlantern.com, sebuah situs komunitas warga Indonesia di Amerika.
Selama tiga tahun, Ima harus bekerja lebih dari 12 jam. Hampir setiap hari, ia disika dan dipukuli majikannya yang warga keturunan. Ima harus menerima pukulan dan tamparan berkali-kali untuk sebuah kesalahan kecil.
“Sampai sekarang, bekas luka di kepala masih bisa dilihat,” ujar Ima. Pada 2000, perempuan ini nekat menyisipkan sebuah notes kecil berisi “permintaan tolong” kepada seorang penjaga bayi tetangganya. Tetangga inilah yang menolong Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor Coalition to Abolish Slavery & Trafficking (CAST).
Waktu itu ia tidak membawa paspor, lanjut Ima. Ima pun tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan untuk beberapa bulan, hingga akhirnya ia menemukan rumah yang layak ketika bekerja di CAST.
Agar paspornya dikembalikan sang majikan, Ima berpura-pura pulang ke Indonesia. Ditemani seorang agen FBI, Ima bertemu majikannya di Bandara LAX. “Saya juga dipasangi alat penyadap untuk merekam seluruh pembicaraan,” tutur Ima dengan bahasa Inggris yang rapi.
Singkat cerita, sang majikan memberinya tiket pesawat sekali jalan ke Tanah Air dan berjanji hendak mengirim uang gajinya, setelah Ima tiba di Malang, Jawa Timur. Tapi, sang majikan tak pernah membayar gaji Ima karena ia tak pulang ke Malang.
“Saya hanya masuk ke ruang di dalam bandara dan keluar lagi,” kata Ima yang akhirnya tidak mau menuntut majikannya yang berlaku kasar itu. Menurutnya, FBI tidak bisa menahan majikannya, karena Ima tidak menuntutnya.
Lebih dari itu, prosesnya cukup berbelit dan membutuhkan saksi mata yang jelas. Selain itu, aksi kekerasan itu terjadi di dalam rumah tanpa diketahui banyak orang. Lagipula bekas-bekas luka yang diderita Ima dianggap kurang menunjukkan luka serius, meski terdapat bekas luka di kepala.
Seiring waktu itu, karier Ima sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Dengan status barunya sebagai aktivis Ima bertemu para pejabat tinggi seperti Menteri Luar Negeri John Kerry, bahkan Presiden Barrack Obama.
Sejak 2012 ia menjadi staf CAST. Ima menjabat sebagai koordinator para korban Perbudakan dan Perdagangan Manusia CAST. Sejak Desember 2015 dia diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat Gedung Putih bersama 10 anggota lainnya.(Kompas.com|Wartakota|Tribunnews)