Biaya memugar sebuah kereta kencana tidak murah, apalagi kalau berkaitan dengan hiasannya yang berlapiskan emas.
Belum lama ini Garudo Yekso kembali dipugar, biaya untuk tahap pertama sudah dihabiskan sejumlah Rp30 juta. Tahap berikutnya diperkirakan akan memakai biaya sekitar Rp40 juta, padahal itu pun baru sebagian saja.
Menurut GBPH Prabukusumo, pimpinan museum tersebut, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian karena dianggap dapat menghilangkan nilai-nilai aslinya.
Memang kalau dari segi pemeliharaan, Keraton Yogya cukup banyak memberikan perhatian. Bahkan pernah mendapatkan acungan jempol dari para ahli kereta kencana Inggris dan Belanda.
Berbeda dengan kereta kuno di Inggris dan Belanda yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, kereta kencana milik keraton sampai saat sekarang masih bisa dinaiki dengan aman. Ini semua berkat pemeliharaan yang teratur, walaupun menggunakan bahan-bahan dan cara tradisional.
Misalnya secara berkala as kereta diberi minyak jarak/vaselin atau bagian dalamnya diberi kamper untuk menghindari serangan kutu-kutu.
Selain yang digunakan untuk kepentingan sendiri, sultan menyediakan juga kereta khusus bagi para abdi keraton yang mengiringinya kalau berkunjung ke tempat tertentu.
Yang unik, pada zaman Sri Sultan HB VIII, terpikir oleh pimpinan keraton untuk memesan kereta khusus pengangkut jenazah. Kereta itu diberi nama Kyai Rotopraloyo, dibuat di Yogya sekitar tahun 1938.
Tidak lama setelah kereta Kyai Rotopraloyo selesai dibuat, HB VIII mangkat. Kereta ini selanjutnya digunakan untuk mengangkut jenazah putra-putri sultan ke Makam Imogiri atau Kotagede.
Kalau mengangkut jenazah sultan kereta ini ditarik oleh 8 ekor (empat pasang) kuda untuk putra-putrinya hanya dua pasang. Dalam perjalanan ke Imogiri kuda-kuda penarik diganti sampai dua kali, yaitu di Desa Gandok dan Jetis.
Kuda-kuda pengganti itu satu dua hari sebelumnya sudah diberangkatkan ke tempat pergantian tersebut agar sudah dapat diistirahatkan sebelumnya.
Berbicara mengenai kereta kencana kita tidak dapat mengabaikan peranan kuda. Dahulu sultan pun sering menunggang kuda dengan ciri tertentu, misalnya kuat, tangkas, dan dapat melindungi.
Oleh karena itu kudanya diberi nama Satria Pinayungan, yang artinya dapat melindungi satria yang menungganginya.
Untuk kuda tunggangan raja atau penarik kereta kencana disyaratkan paling tidak mempunyai 82 ciri tertentu.
Antara lain kuda itu harus mempunyai lubang hidung yang lebar seperti pakis, daging pipinya tebal, dahinya lebar dan rata. Sedangkan jenis-jenis kudanya banyak didatangkan dari Sumbawa dan Australia.
(Ditulis oleh Tota dan Rene. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1985)
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR