Ditambahkannya lagi, kalaupun ingin tetap dipugar sebaiknya pihak keraton menunggu 'pemberitahuan' lebih lanjut.
Pada saat Sri Sultan HB IV berkuasa, yaitu sekitar tahun 1860, dipesan kereta yang khusus digunakan untuk putra makota dari Pabrik Kereta Barendse di Semarang.
Kereta ini ditarik oleh empat ekor (dua pasang) kuda dan diberi nama Kyai Wimonoputro.
Kereta lain yang juga dipesan oleh HB VI dari Pabrik Kereta Barendse adalah Kyai Harsunobo, yang pernah digunakan untuk menjemput istri Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, ketika akan datang ke keraton dari tempat tinggalnya di karesidenan.
Baca juga: Mewahnya Kota Kuala Kencana Milik PT. Freeport di Tengah Hutan Papua, Serba Modern dan Canggih!
Awak kereta ini berjumlah empat orang, dua bertugas sebagai pengendali kuda yang duduk di atas kuda penarik sebelah kiri dan dua lainnya bertugas untuk pembuka pintu.
Karena merasa kurang sreg dengan Kyai Harsunobo, sepuluh tahun kemudian HB VI memesan kereta kencana lain dari pabrik kereta di Negeri Belanda.
Kereta kencana ini diberi nama Kanjeng Kyai Garudo Yekso, yang dipakai untuk upacara-upacara kebesaran, menjemput atau mengantar tamu agung (raja atau kepala negara lain) dari stasiun kereta api.
Ditarik delapan ekor kuda berpasangan yang sewarna. Kecuali diawaki seorang sais, juga ada plaer-nya.
Setelah ada Garudo Yekso, tugas Kyai Harsunobo menjadi lebih ringan, yaitu untuk upacara kecil saja, misalnya digunakan kalau sultan akan menghadiri pacuan kuda atau berkunjung ke resepsi perkawinan keluarga keraton.
PERLU LUBANG HIDUNG LEBAR
Kyai Garudo Yekso dipakai sampai dengan masa berkuasanya Sri Sultan HB IX, sebelumnya pernah dipugar pada zaman HB VII.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR