Pada belokan terakhir, dari kejauhan, kami menampak sebuah gedung batu dengan menara-menara pengawas yang dikelilingi tembok yang tinggi. Bangunan yang berwarna kelabu itu tampak angker dan menyeramkan.
Lewat sebuah pintu gerbang, kami memasuki halaman depan kamp. Sekarang tempat ini dijadikan pelataran parkir. Kalau kami terlambat sedikit saja pasti kami terpaksa parkir mobil di halaman luar. Banyak sekali mobil dan bus-bus turis.
Ranjang untuk tidur bergantian
Untuk mencapai bagian dalam kamp (daerah "tempat tinggal" penjaga dan para tawanan) kami masih harus melalui satu gerbang lagi. Di pintu luar gerbang tertulis larangan membawa anjing.
Mungkin, maksudnya agar halaman tidak cemar oleh kotoran anjing. Konon, kalau ada pengunjung yang membawa anjingnya masuk, anjing itu akan melolong-lolong ketakutan.
Baca juga: Nasib Mengerikan Wanita Korut di Kamp Konsentrasi, Diperkosa Lalu Dibunuh Setelah Melahirkan
Sekarang kami sampai di suatu pelataran yang cukup luas. Menurut catatan di papan denah yang terdapat di situ, di pelataran inilah tiap pagi dan sore para tawanan harus berkumpul untuk diabsen.
Di sebelah kanan kami, sederetan gedung bertembok batu yang bagian atasnya telah kami lihat tadi di kejauhan.
Semula, gedung-gedung itu ada yang diperuntukkan bagi penjaga (asrama, klinik dapur umum dan Iain-lain) dan ada yang untuk para tawanan (ruang gas, ruang penyimpanan dan pembakaran mayat, ruang gantung, ruang bedah mayat dan penjara).
Di sebelah kiri kami, berdiri bangunan-bangunan kayu. Ini adalah barak tempat tinggal para tawanan. Melihat konstruksinya, bangunan ini tentunya tidak memberikan kehangatan bagi penghuninya di musim dingin.
Pengunjung diperbolehkan memasuki bangunan ini untuk melihat perabotan yang dipakai para tawanan, misalnya tempat tidur (satu tempat tidur digunakan untuk dua orang secara bergantian), "lemari" pakaian dan perabotan makan.
Baca juga: Terus Dihantui Mimpi Buruk, Korban Selamat Holocaust Ini Masih Mengenakan Seragam Kamp Konsentrasi
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR