Saat itu saya baru tersadar bahwa Nigel berada dalam posisi setengah duduk. la sedang berdiskusi sendirian tentang besarnya kemungkinan kami kena. Sarjana matematika itu sedang sibuk menyusun persamaan berdasarkan kecepatan pesawat, estimasi kecepatan jatuhnya bom dan luas parit kami, untuk membuktikan bahwa kami benar-benar amat sial kalau sampai kena.
Saya lihat prajurit di sebelah saya juga ketakutan. Air matanya meleleh dan satu tangannya berdarah karena cengkeraman tangannya sendiri. Kami mulai berunding, apakah tetap di situ atau berusaha menyingkir. Ketakutan membuat kami terbata-bata.
Karena tak ada yang bisa ambil keputusan, akhirnya saya bertanya kepada Des apakah kami akan shooting saja. Des setuju. Maka dengan tetap bertahan di bawah permukaan tanah, saya mulai bekerja dengan kamera saya, sementara Des berdiri memegang tangkai mikrofon. Ketika ia sedang berkata kira-kira begini, "Seperti yang Anda lihat, PLO sedang dihujani serangan udara besar-besaran", mendadak skuadron itu sudah datang lagi dengan menukik tajam.
Begitu mereka berlalu, tekad saya bulat. Saya harus enyah. Saya raih pinggiran parit, lalu mengangkat badan. Begitu nongol ke atas, alangkah kagetnya saya. Ternyata saya berpegangan pada sisa-sisa perut salah seorang prajurit yang baru kami foto dan wawancarai! Orangnya sendiri masih hidup walau telah kehilangan dua kaki dan sebagian besar isi perutnya keluar. Ia mengerang, "Help me, help me, help me." Entah kenapa, dalam kondisi seperti itu ia masih juga berbahasa Inggris.
Kami melompat ke atas. Di atas ada ancaman pesawat, di sisi kami ada prajurit yang minta tolong, sementara di otak saya terngiang-ngiang, "Di sekelilingmu tersedia gambar-gambar kelas wahid!" Namun di atas semua itu, yang terpikirkan hanyalah bagaimana bisa segera enyah dari tempat jahanam itu. Nigel muncul di samping saya. Kami sempat berusaha menyambung kabel suara ke kamera, tapi berhubung sama-sama gemetar hebat, kami tak berhasil. Akhirnya, kami hanya bisa angkat kaki mengambil langkah seribu.
Kami menuju ke sebuah bekas kafe dan beberapa pondok wisata sejauh ± 1 mil. Daerah itu di luar sasaran pengeboman. Di tengah jalan sebuah ambulans ngebut. Kami lambaikan tangan dengan penuh harapan. Eh, kami malah ditembaki. Lengkaplah sudah mimpi buruk kami.
"Oleh-oleh" cacing pita
Di kafe saya baru tahu kalau kepala saya cedera. Untung ringan saja. Setengah lusin prajurit PLO yang ada di sana memperlakukan kami dengan baik dan penuh perhatian. Ketika sebuah truk menuju kota mampir, kami diikutkan. Sambil duduk menghadap ke belakang dengan kaki berjuntai, berangsur-angsur keberanian kami timbul lagi, sampai kami lihat sebuah pesawat membuntuti. Ternyata kami menumpang kendaraan antipesawat terbang! Untunglah akhirnya kami bisa pulang utuh.
Di Beirut bukan barang baru melihat wartawan pulang terseok- seok dengan tubuh penuh debu dan darah menuju meja resepsionis hotel berbintang 4. Petugas di Commodore menyapa kami, "Sore Tuan Hamill, Tuan Rich, Tuan Thompson – hari yang baik 'kan?"
Dengan bangga kami menyerahkan hasil liputan kami hari itu kepada Peter Read. Namun nyaris saja dia mati kami cekik, gara-gara komentarnya, "Well, cuma begini aja." Kami akui, hasil liputan hari itu memang amat membosankan. Gambarnya bergoyang-goyang, tidak menampilkan suasana sama sekali, dan kebisingan yang luar biasa ternyata berada di luar kemampuan alat perekam suara kami. Alhasil, sebagian besar rekaman itu bisu!
Kemarau yang menerkam Afrika Barat sekitar tahun 1985 amat menyengsarakan. Pertanian, peternakan, semua hancur. Bersama sound recordist Jon Hunt dan reporter Jane Corbin saya dikirim ke Mali dan Pantai Gading selama beberapa minggu untuk membuat laporan khusus tentang situasinya.
Di Abijan, ibu kota Pantai Gading, akibat kemarau memang belum terlihat. Tapi begitu menuju pedesaan, di mana-mana tampak anak-anak berperut buncit, umumnya terlalu lemah untuk bergerak atau terlalu letih untuk peduli. Sepanjang hari yang terik mereka hanya terpekur di pelukan ibunya, mengisap dada keriput, yang pasti sudah tak lagi mampu meneteskan air susu.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR