Saya tiba di Bandara Internasional Beirut pada tanggal 24 Juni 1982 bersama Des Hamill, sound recordist Nigel Thompson, dan editor Peter Read. Kami dengar Israel makin gencar melancarkan kekerasan terhadap Libanon dan untuk itulah kami kemari. Setelah istirahat sejenak di penginapan kami, Commodore Hotel, sebuah hotel berbintang 4 yang hampir semua tamunya wartawan, kami segera keluar untuk "berburu".
Berhubung sopir langganan tak tampak, kami sewa sopir lain, salah satu dari banyak pemuda yang mondar-mandir di luar hotel untuk cari penumpang. Celana jinsnya, mobil sportnya, sama sekali tak cocok dengan pemandangan kota yang mengerikan. Ia belum pernah bekerja untuk wartawan, tapi tampak amat bersemangat. Bahasa Inggrisnya pun lumayan. Des, Nigel, dan saya segera naik ke mobilnya, sementara Peter mempersiapkan segala macam peralatan editing di kamarnya.
Supaya memperoleh gambar yang punya nilai berita tinggi, kami menerapkan modus operandi yang agak gila-gilaan. Begitu terlihat ada pesawat Israel yang baru menjatuhkan bom, cepat-cepat kami ngebut ke sana untuk merekam hasil pengeboman itu. Karena tiba di tempat kejadian 1 atau 1,5 menit setelah bom jatuh, kami masih memperoleh gambar kobaran apinya, bangunan yang porak poranda, dan korban yang sekarat. Pokoknya, semua gambar yang diimpikan editor.
Setelah kira-kira 2 jam main uber-uberan bagaikan ambulans, kami lihat satu skuadron pesawat pemburu Israel sedang menghajar habis-habisan daerah pinggiran kota tepi laut bernama Khaldi. Dari tempat kami membidikkan kamera, di tepi jalan tebing, pemandangannya sungguh luar biasa. Pesawat-pesawat tempur terbang menyapu pantai, lalu menjatuhkan muatan mereka, baik bom atau roket, disusul munculnya bola-bola api raksasa disertai kepulan asap.
Seperti umumnya anak laki-laki, sejak kecil saya sudah jatuh hati pada pesawat. Dari jarak beberapa mil, proses penghancuran Khaldi tampak romantik. Seolah-olah saya sedang merekam adegan film perang yang hebat.
Bayangkanlah Anda melihat barisan pesawat muncul dari balik matahari untuk mengebom permukiman, kafe, dan pondok-pondok wisata di pantai.
Begitu pesawat-pesawat itu pergi, langsung saja kami lemparkan semua peralatan kami ke dalam mobil dan berangkat ke Khaldi. Sebuah bom 500 kg dapat membuat kawah sebesar rumah, padahal pesawat-pesawat Israel telah menjatuhkan lusinan bom seberat itu di unit PLO yang ada di wilayah tersebut. Pas kami berhenti, sebuah bangunan di seberang jalan runtuh.
Kenaifan kami sungguh-sungguh mendekati tolol. Entah mengapa, kami demikian yakin pesawat-pesawat itu tak bakal kembali begitu sasaran kena. Ternyata kami salah besar! Mendadak seorang prajurit PLO yang masih muda berteriak-teriak, "hhi ishi ishil" ("Mereka datang!") Di langit tampak sekelompok titik yang dengan cepat membesar. Mereka langsung menuju kami dengan kecepatan 600 mil per jam. Semua romantisme kanak-kanak saya lenyap, secepat kedatangan mereka.
Mereka menukik ke arah kami dan seketika itu juga udara penuh sesak dengan gelegarnya, sampai telinga terasa sakit. Sebelum kami menyadari betul apa yang terjadi, dua orang prajurit Palestina menarik dan mendorong kami ke dalam parit (lubang) perlindungan di tepi jalan. Sambil jatuh, saya masih sempat melihat mobil kami termasuk pengemudinya, hanya 20 m jauhnya dari kami, tertelan bola api besar. Mereka kena!
Biangnya takut
Des dan Nigel pun sudah bergelung di dalam parit. Juga dua orang tentara Palestina. Sementara itu suara pesawat menderu-deru datang silih berganti, bom bersiulan jatuh. Ledakannya berulang-ulang menggetarkan tanah. Tiap kali bom meledak, tekanannya membuat wajah kami serasa ditampar, perut kami ditendang. Gelombang kejutannya membuat sekujur tubuh kami bergetar. Bermenit-menit saya bergelung seperti janin dengan wajah dibenamkan ke tanah. Saya dicekam ketakutan hebat sampai sulit bernapas. Apalagi bomnya diperlengkapi dengan setrip logam yang didesain untuk mengeluarkan desingan berfrekuensi tinggi, agar korban makin panik.
Berdasarkan jeda waktunya, lama-kelamaan kami mengetahui bahwa mereka secara teratur mengebomi parit-parit perlindungan di wilayah kami. Tak lama lagi bisa dipastikan lokasi kamilah yang kena.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR