Belakangan saya jadi pembantu umum di Camera Effects, perusahaan yang kerjanya menciptakan efek-efek khusus untuk film bioskop. Berkat salah seorang rekanan perusahaan itu, Sheldon Elbourne, yang tak cuma guru tapi juga pendorong semangat yang hebat, saya diangkat menjadi asisten juru kamera sampai akhirnya menjadi operator kamera. Di sinilah pertama kalinya saya berkenalan dengan kamera film.
Walaupun sudah senang bekerja di sana, saya toh gelisah juga. Saya rindu terjun ke dunia action. Maka saya lepaskan pekerjaan tetap itu dan mencari pekerjaan freelance. Berkat dasar-dasar yang kuat di Camera Effects, karier freelance saya melejit dari pangkat terbawah sampai juru kamera hanya dalam waktu 5 tahun. Padahal orang lain mungkin butuh 20 tahun.
Saya menikah dengan Penny tahun 1974. Penny guru seni di sebuah sekolah di Bethnal Green, sedangkan saya mencari nafkah dengan membuat film dokumenter, film iklan, dan film-film feature. Malah akhirnya saya ditunjuk menjadi pengarah fotografi untuk dua film kelas B, meski terus terang saja, agak jelek mutunya.
Direkrut ITN
Perkenalan pertama saya dengan peliputan berita seperti jatuh mendadak dari langit. Ulster TV meminta saya melakukan peliputan selama seminggu di Irlandia Utara. Tak dinyana di tengah jalan kami terhadang peristiwa kecelakaan mobil berantai. Dalam hujan lebat saya langsung mengabadikan akibat peristiwa yang mengerikan itu. Hujan, membuat matahari senja, dan sorot lampu senter yang jadi tampak kebiruan benar-benar membangun gambar yang mengesankan. Di saat terakhir saya baru melihat ada satu mobil yang tersuruk menyendiri. Saya buka pintunya. Sopirnya seorang pria berdasi, penumpangnya wanita di jok belakang, duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, tapi keduanya sudah tidak berkepala!
Toh ternyata saya jatuh cinta pada pekerjaan baru ini. Tak cuma karena setiap hari saya terpapar pada pengalaman baru, tapi juga dituntut selalu berprestasi baik. Pujian hanya bergaung untuk satu acara buletin berita. Sebagai juru kamera pendatang baru, saya ngotot berjuang membuktikan diri.
Kontak dengan ITN terjadi ketika saya meliput kunjungan Ratu Elizabeth ke Irlandia Utara dalam rangka perayaan ulang tahun perak pemerintahannya. Waktu itu orang menemukan bom kecil di halaman universitas di Coleraine. Kebetulan saya juru kamera satu-satunya yang mengabadikan peledakan bom tersebut oleh tentara. ITN memperoleh hasil liputan saya itu lewat Ulster TV. Setelah melacak siapa peliput beritanya, saya mereka sewa beberapa kali untuk pekerjaan freelance, sampai akhirnya diajak bergabung dengan ITN. Baru setelah tiga kali ditawari, saya terima. Begitulah ceritanya saya menjadi tenaga tetap di ITN.
Ketika pertama kali ke El Salavdor dalam bulan Januari 1981 tak seorang pun penonton maupun wartawan di Inggris punya gambaran yang cukup tentang negara itu dan bagaimana situasinya.
Revolusi Nikaragua terjadi tahun 1979. Begitu Reagan menjadi presiden pada tahun 1980, isu Amerika Tengah semakin menghangat di negara Paman Sam. Perhatian masyarakat internasional makin besar ketika Uskup Romero dibunuh saat mengikuti misa. Itu belum cukup, tamu-tamu yang datang di pemakamannya pun dibantai. Berbulan-bulan Jon Snow mendesak ITN untuk mengirimkan saya ke sana sebelum akhirnya mereka setuju.
Maka suatu hari saya sudah duduk di sebuah hotel di Miami, menunggu penerbangan lanjutan ke San Salvador keesokan harinya. Waktu itu saya belum pernah meliput perang yang sesungguhnya. Gambar-gambar yang ditayangkan CBS di TV sungguh mengerikan. Percaya tidak, saya sampai berpikir serius akan kabur! Apalagi saya dikirim untuk menggantikan juru kamera ITN bernama Ian Mates yang kepalanya diledakkan ranjau darat.
Begitu tiba di San Salvador, kami langsung memesan kamar di Camino Real, basis wartawan luar negeri umumnya. Kota itu sendiri tampaknya belum tersentuh perang gerilya yang sedang meruyak daerah pedalaman. Karena tak seorang pun dari kru kami dapat berbahasa Spanyol, hidup kami tergantung pada orang Italia bernama Marcello Zanini. Marcello tak cuma berfungsi sebagai juru bahasa, tapi juga pemandu plus seksi repot.
Bahaya paling besar: ranjau
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR