Kami sempat juga meliput ke San Francisco. Ini bukan kota di AS, tapi sebuah basis Angkatan Laut El Salvador. Beth Nissen, fotografer koresponden Newsweek, termasuk dalam rombongan kami. Wanita Argentina ini tak pernah lupa memboyong cello-nya ke mana-mana. John Hoagland juga ikut. Fotografer yang nekat ini akhirnya tewas dalam adu tembak antara tentara dan gerilya.
Hasil liputan kami sebenarnya berlawanan dengan opini internasional waktu itu yang banyak dipengaruhi pernyataan-pernyataan resmi pemerintah AS. Akibatnya, kami tidak disukai, baik di Inggris maupun di AS (di sana ABC yang menyiarkan hasil liputan kami). Begitu pun, orang seperti tak pernah puas menonton liputan kami. Bayangkan, di masa prasatelit dan video, ketika kami harus menerbangkan film-film hasil liputan, setiap malam laporan kami dapat ditayangkan! Sungguh hari-hari yang hebat. Siang shooting, malam duduk di meja rumah bordil tempat kami menginap, menunggu Jon mengetik naskah laporannya dengan diterangi cahaya lilin.
Saking giatnya kami mengejar berita, biasanya bersama fotografer dari media massa lain, macam koresponden The Times, Michael Leapman, reputasi kami lumayan. Tiap malam sepulangnya di Camino Real, para wartawan lain yang tidak begitu suka bertualang menyerbu kami. Saat itu El Salvador belum dipandang sebagai berita penting oleh media massa umumnya. BBC baru mengirim wartawan setelah lama sekali, sedangkan di kalangan wartawan AS, El Salvador telanjur terkenal amat berbahaya.
Suatu malam sampai mati-matian kami mencari pesawat yang bisa membawa film hasil liputan kami, tapi belum berhasil juga. Keadaan di lapangan udara sunyi senyap. Baru saja kami akan beranjak pergi, mendaratlah sebuah jet eksekutif kecil. Ternyata koresponden ABC sedang bersiap-siap bersama juru kameranya untuk meliput El Salvador hanya sejauh beberapa meter dari pesawatnya!
Jon Snow membujuknya agar mampir, untuk sekadar makan malam di hotel, tapi ia menolak mentah-mentah. Rupanya ia benar-benar ngeri. Hanya beberapa menit kemudian, ia telah melompat kembali ke jet Lear-nya (sambil menggenggam film titipan kami).
Padahal di El Salvador kita bisa merasa aman sejauh kita berada bersama salah satu pihak yang berseteru. Yang sungguh-sungguh berbahaya adalah ranjau darat. Bila melewati daerah tempat gerilyawan sedang aktif, biasanya kami berjalan di depan mobil sambil mengibarkan bendera putih dan pasang mata lebar-lebar. Ranjau kadang-kadang hanya tampak berupa tutup kaleng biskuit. Ada ranjau yang diledakkan dengan kawat oleh gerilyawan yang menjaganya, bila yang lewat tentara pemerintah. Bila mereka lihat yang lewat cuma wartawan, mungkin tidak akan diledakkan. Ian Mates tewas gara-gara anak kecil pemandu ranjaunya gugup, sehingga tersandung kawat pemicu ranjau.
Yang paling mengerikan adalah hasil kerja Pasukan Maut. Korbannya ada yang lenyap tak berbekas, tapi ada pula yang dibuang begitu saja di jalanan setelah jam malam pukul 19.00.
Dalam minggu-minggu pertama di San Salvador setiap pagi, kami keliling kota selama satu jam atau lebih untuk merekam gambar para korban yang dibuang malamnya. Acara "hitung mayat" ini dilakukan sebelum sarapan, sebagian untuk memburu waktu sebelum mereka diangkut ke rumah jenazah atau diambil keluarga.
Rata-rata yang kami temukan sekitar selusin korban, umumnya pria berusia antara 15 dan 40 tahun. Seperti umumnya orang yang dibesarkan di lingkungan yang aman tenteram banyak menonton film koboi, saya telanjur percaya bahwa luka akibat tembakan peluru selalu berbentuk lubang yang rapi. Padahal bila seseorang ditembak kepalanya dengan revolver, hampir 70% kemungkinan, kepalanya bakal hilang. Jika pelurunya berasal dari senapan berkecepatan tinggi, kemungkinannya hampir 100% sang kepala hilang. Padahal itu pemandangan yang paling tidak mengerikan. Ada yang dicincang dengan golok, atau dipegangi di tengah jalan lalu dilindas pulang balik dengan truk.
Supaya jelas bahwa mereka hasil kerja Pasukan Maut, mayat-mayat itu dibuat bertelanjang kaki. Kadang-kadang ada yang dipotong bagian-bagian tubuhnya. Namun setelah beberapa minggu, kami tak lagi meneruskan acara "hitung mayat". London tidak mau menayangkan gambar-gambar yang menurut mereka terlalu mengerikan. Rekan-rekan saya juga capek bangun pukul 06.00. Sedangkan saya sudah terbiasa bangun pagi. Apalagi saya sedang getol-getolnya berlatih lari maraton. Jadi, saya gunakan saja waktu kosong itu untuk joging.
Suatu kali sedang asyik-asyiknya saya berlari, di depan jalur saya tampak tergeletak dua mayat yang masih baru. Di sebelah kanan ada segerombolan orang berkumpul. Saya enggan menerjang kerumunan orang yang tidak saya kenal, apakah kawan atau lawan bagi saya. Lagi pula saya tak ingin irama lari saya terganggu. Maka tak ada pilihan lain, saya lompati saja kedua mayat itu. Tak dinyana, gerakan saya ini membubarkan kerumunan lain, yaitu lalat-lalat di mayat.
Di awal 1982 kami kembali ke El Salvador. Berkat keberuntungan di sana, kami bakal memenangkan banyak penghargaan untuk berita. Bagian pertama ekspedisi itu dilakukan di luar El Salvador, untuk kemudian menyelundup masuk ke negara itu lewat perbatasan dengan Honduras untuk bergabung dengan sekelompok gerilyawan guna merekam kegiatan mereka. Kami terbang ke Honduras dari Miami, lalu menumpang pesawat Cessna bermesin satu milik badan bantuan Prancis, Aviation Sans Frontieres. Pilotnya penerbang pesawat Concorde yang di waktu senggang kerja sukarela menyalurkan bantuan ke kamp-kamp pengungsi. Sudah tentu ia mengambil risiko besar dengan mengizinkan kami ikut. Bukankah kami merencanakan akan menyelundup secara ilegal masuk El Salavador? Sebaliknya, bagi kami rute ini yang paling baik, daripada harus lima hari menembus hutan dengan jalan kaki.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR